Beberapa tahun terakhir ini
sering muncul pernyataan dari mulut seorang muslim yang mengatakan lebih baik
memiliki Pemimpin Kafir ketimbang Pemimpin Muslim Yang Korup. Sebuah kualitas
perbandingan yang tendensius, menunjukan
kebencian dan keputus asaan betapa sulitnya mempercayai pemimpin Muslim.
Sedemikian parah kah?
Ahok memang menjadi sosok yang
kontroversial dinergeri ini, apalagi jika kita bicara hal-hal terkait kondisi Jakarta, maka tak ayal nama orang nomer satu ini akan disebut
dan dielu-elukan meski ada juga yang mencibirnya.
Ditengah perbincangan, seorang teman saya,-pengagum ahok, mencoba membuat
perbandingan-perbandingan dan kemungkinan-kemungkinan terkait pilkada
DKI. Katannya, jika beliau berhadapan dengan Ridwan kamil maka dia akan pilih
ridwan kami, tetapi jika Ahok melawan Haji Lulung yang katanya koruptor
-seharusnya dia dipenjara jika memang koruptor dan entahlah apakah tuduhan itu
fitnah atau terbukti saya tidak akan ikut-ikutan terjerumus, maka beliau akan
memilih Ahok. Jadi tergantung lawanya.
Saya menyela, mungkin ahok adalah sosok yang bagus untuk seorang pemimpin meski saya lebih
mengedepankan sikap realistis saya sebagai Muslim-sayangnya tidak realistik menurut kawan
saya. Saya akan memilih pemmpin
yang muslim meski boleh jadi kurang populer atau bahkan tidak populer.
Saya kemukakan juga bahwa alasan saya yang memilih adalah berdasarkan dalil/nash Al-Quran terkait pelarangan mengambil pemimpin dari orang-orang kafir.
Kemudian suasana agak berubah. Entah mengapa salah seorang kawan saya merasa tersinggung oleh sikap saya seolah-olah saya menyalahkan pendapatnya. Saya heran bagaimana mungkin kawan saya mengatakan sikap saya seolah-olah menyalahkanya padahal dalil/hujjah pernyataan saya itu bukanlah pendapat saya melainkan pendapat Al-Quran.
Kawan saya yang lainya berkata, Dalil itu benar, tapi tidak realistis. Saya bertanya bagaimana mungkin mengatakan bahwa Al-Quran itu benar tapi pada saat yang sama tidak realistis? Dalam hati saya mengucap, Innalillahi Wa innalillahi Rojiun.
Kemudian suasana agak berubah. Entah mengapa salah seorang kawan saya merasa tersinggung oleh sikap saya seolah-olah saya menyalahkan pendapatnya. Saya heran bagaimana mungkin kawan saya mengatakan sikap saya seolah-olah menyalahkanya padahal dalil/hujjah pernyataan saya itu bukanlah pendapat saya melainkan pendapat Al-Quran.
Kawan saya yang lainya berkata, Dalil itu benar, tapi tidak realistis. Saya bertanya bagaimana mungkin mengatakan bahwa Al-Quran itu benar tapi pada saat yang sama tidak realistis? Dalam hati saya mengucap, Innalillahi Wa innalillahi Rojiun.
Katanya, bagaimana jika Surya
Darma Ali maju, apakah saya masih akan memilihnya. Kata saya, mengapa
disandingkan dengan Surya Darma Ali yang sedang berperkara dalam kasus
korupsi. Saya bilang, engga mungkin dong
orang yang sedang berperkara dalam kasus korupsi bisa mencalonkan diri sebagai Gubernur. Sungguh Tendensius. Mengapa harus surya darma
Ali. Apakah ingin menegaskan bahwa “lihat pemimpin Muslim itu cenderung seperti
Surya Darma Ali!”.
Lagi pula kalo Surya Darma Ali
mencalonkan guberner DKI berarti dia sedang tidak terlibat kasus korupsi bukan?
Pastinya saya pilih dia. Dan siapapun
lawan Ahok meski tidak sepopuler Ridwan Kamil dan Aher, selama dia Muslim, maka
maka saya akan tetap memilih Pemimpin Muslim. Membandingkan Ahok dengan Muslin
Koruptor adalah tidak adil. Yang adil adalah Ahok VS Muslim. Dan Siapapun yang
nanti mencalonkan diri pasti dia akan
dinyatakan bebas korupsi dikarenakan itu adalah syarat untuk menjadi
Gubernur.
Teman saya menambahkan, saat ini
berpikir saja dengan akal. Negara kita bukan negara agama (benarkah?). Kalau kita menggunakan agama, bisa membuat hancur negara ini, katanya berasumsi. Mengapa saya katakan berasumsi.
Darimana kita akan tau. Memang kita
Tuhan. Asumsi adalah suatu kesimpulan yg tidak didasari data-data ilmiah.
Memang bisa benar dan bisa juga bisa salah. Ingat! Pembukaan undang-undang
kita dibuka dengan “Berkat Rahmat Allah.......” Sudah 70 Tahun negara ini
berdiri. Apakah negara ini menjadi hancur? Harusnya negeri ini sudah hancur jika asumsi itu benar. Dan agama mana yang menyebut Tuhan
sebagai Allah? Jadi tidak tepat jika mengatakan negara ini bukan negara agama, meskipun negara ini tidak menerapkan seluruh aturan agama dalam aturan dan hukumnya.
Selain itu, mengapa kawan saya yang muslim ini jadi begitu alergi ketika saya menjadikan dalil argumen saya? Bukan kah sebagai umat Islam kita meyakni bahwa Al-Quran ini adalah pedoman dan petunjuk ? Lalu apa artinya meyakini Al-Quran tetapi pada saat yang sama kita menolaknya?
Selain itu, mengapa kawan saya yang muslim ini jadi begitu alergi ketika saya menjadikan dalil argumen saya? Bukan kah sebagai umat Islam kita meyakni bahwa Al-Quran ini adalah pedoman dan petunjuk ? Lalu apa artinya meyakini Al-Quran tetapi pada saat yang sama kita menolaknya?
Itu sebuah proses, kawan saya
yang lainya berkomentar. Saya tidak memahami apa yang dimaksud dengan proses. Saya bertanya, proses
apa dan bagaimana? Maksud saya apa bentuk konkrit dari proses untuk Ahok.
Apakah yang dimaksud proses adalah biarkan saja Ahok menjadi Gubernur dan kita medoakan saja agar dia mendapat hidayah itu
artinya proses. Pertanyaanya adalah kalau Ahok mendapat
hidayah kalau tidak bagaimana? Sementara kita dituntut, “....... Janganlah orang-orang mukmin mengambil
orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin”.
Abu bakar saja dahulu seorang
mu’alaf, katanya melanjutkan. Tapi Ahok bukan Mu’alaf. Ia Non Muslim. Abu bakar menjadi “Pemimpin” setelah 23 tahun menjadi Muslim. Memang semua
orang arab di Mekkah dan Madinah selain Nabi Muhammad adalah orang-orang musrik
sebelumnya. Tapi Abu bakar adalah
seorang Muslim ketika menjadi Pemimpin. Jadi tidak ada kesamaan antara Abu
bakar dengan Ahok dalam hal apapun.
Jika mau diartikan berproses itu
adalah “mendapat hidayah”, Abu bakar sudah mendapat hidayah dan gemblengan langsung
dari nabi selama 23 tahun, dalam suka
dan duka, dalam perang yang mengancam
maut. Prosesnya (jika dimaksud hidayah) sudah terjadi dan bahkan sangat layak.
Tak perlu lagi kita menunggu Abu bakar mendapat proses hidayah saat dia menjadi
pemimpin umat Islam. Jadi beda dengan Ahok yang non Muslim.
Kawan saya yang lainya menyela. Sudahlah ini akan menjadi debat kusir dilanjutkan. Sebenarnya saya setuju untuk menghentikan debat, tetapi dalam hal apa debat dengan dalil yang kuat dikatakan debat kusir kecuali lawan bicara kita memiliki dalil/hujjah yang sama kuat dan tentu saja bersumber dari sumber yang sama yaitu Al-Quran atau hadists. Dalam hal ini kita tidak bisa berdebat dengan memaksakan kehendak karena lawan kita juga punya dalil yang kuat pula. Dan bukankah debat kusir adalah debat yang memperdebatkan
sesuatu hanya berdasarkan pandangan-pandangan pribadi saja tanpah hujjah yang kuat, sebagaimana masalah-masalah khilafiyah yang rumit? Padahal, jika kita belum mengganti agama kita dengan agama lain, maka secara normatif, perspektif kita memandang issue masalah kepemimpinan sudah final berdasarkan dalil Al-Quran sebagaimana ayat berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah rasul-Nya dan ulil amri diantara kalian.” (QS. an-Nisa: 59)
Kepada siapa ayat ini diturunkan? Apakah nabi Muhammad dan para sahabat saat itu saling menjadikan orang kafir dalam menjadikan pemimpin atau ulil amri? Disini jelas bahwa kata "ulila amri min kum" adalah pemimpin yang dari kamu dari golongan kamu, yaitu mukmin. Apakah ayat ini dituj
Saya setuju 100%. Memang negara ini
menjamin semua orang bisa jadi pemimpin apapun agamanya. Dan tak ada yang melarang
Ahok jadi Gubernur dengan cara inkonstitusional. Tapi orang muslim berdakwah
atau mempengaruhi atau mengingatkan muslim lainya untuk memilih pemimpin Muslim, bukanlah kejahatan yang melanggar undang-undang? Sebaliknya, bukankah sikap ini adalah bagian dari
praktek umat Islam Indonesia yang berketuhanan yag dijamin negara dalam sila
Ketuhanan bukan? Apakah mempengaruhi
muslim berdasar kepada aturan yang diyakini ini adalah sebuah kecurangan?
Penghianatan? Bagi saya, jika sikap ini dikatakan sebagai penghianatan maka
saya katakan lebih baik saya menjadi penghiatan negara ketimbang menjadi
penghianat agama.
Mari kita lihat. Negara ini
melindungi hak asasi manusia. Tetapi kita umat Islam mengkontrol dan membatasi.
Orang tidak menggunakan pakaian boleh saja kalau di dalam kamarnya sendiri.
Tetapi ketika memasuki ranah publik yang notabene lebih banyak umat Islam yang
akan melihanya, apakah ini di benarkan?
Bagaimana juga dengan Miras, Prostitusi apakah kita tidak punya hak untuk
mengkontrol dan memperngaruhi negara ini berdasarkan agama kita?
Apakah kita ingin anak-anak kita
terjebak prostitusi? Melihat orang telanjang dimana-mana, Mengkonsumsi Miras,
Narkoba? Bukankah demi melindungi anak-anak mereka meskipun dalam agama mereka
tidak ada aturan yang jelas terkait permasalahan normatif di atas membuat
mereka setuju dan justru malu untuk tidak menyetujinya bukan? Atas dasar apa
kita menginginkan pelarangan semua itu? Jawabnya “AGAMA” lantas dimana agama Islam
menjadi tidak rasional dan membuat negara ini hancur? Apakah kita iklas dan ridho anak-anak kita dipimpin oleh orang-orang kafir?
Saya sepakat, pandangan boleh saja berbeda dan perbedaan
sah-sah saja. Tetapi konswekwensi dari perbedaan adalah sikap kita dengan
pilihan kita. Menyatakan Alquran keliru,
intoleran, diskriminatif, sudah tidak rasional lagi dapat menyebabkn perpecahan
kehidupan berbangsa, maka konswekwensinya
adalah kita harus meninggalkan keyakinan kita terhadapa Al-Quran.
Dan inilah yang logis jika kita
benar-benar konsisten dalam menggunakan akal.
Jika kita menyatakan bahwa Al-Quran sudah tidak relevan dan tidak bisa
diterima akal maka sama saja dengan mengatakan Al Quran tidak sempurna lagi dan
bahwa Allah tidak lagi maha benar karena tidak mungkin kita mengatakan Allah yang
menurunkan Al-Quran adalah Tuhan yang Maha Benar tapi pada saat yang bersamaaan
kita menyatakan Al-Quran sudah tidak realistis dan bisa diterima akal.
Pun bersikap demikian sah-sah
saja, karena memang tidak ada paksaan
dalam Agama Islam. Yang mesti diingat adalah Tidaklah mungkin kita meyakini kebenaran Al-Quran pada
waktu yang sama juga menyatakan bahwa Al-Quran sudah tidak realistis lagi. Dalam
hal bagaimana akal sehat kita memahaminya?
Dua atau lebih pernyataan yang
saling bertolak belakang tidak akan bisa disatukan. Tuhan itu ada atau Tidak
ada. Tidak bisa Tuhan itu ada sekaligus tiada. Pernyataan Ini adalah Absurd. Pernyataan
“Al-Quran adalah benar” merupakan sebuah konswekwensi Muslim. Sebaliknya
menyatakan Al-Quran sudah tidak relevan lagi berarti otomatis “menggugurkan” keyakinan seorang
Muslim akan kebenaran Al-Quran dan tentunya pada semua aspek keyakinan seorang
muslim. Bagaimana kita dapat menyatukan premis yang saling bertolak belakang
tersebut? Sebab Tidak dikatakan beriman kepada Al-Quran pada saat yang
bersamaan menolaknya.
Maka supaya tidak tidak termasuk
orang yang berpikir dan bersikap absurd maka kita harus memilih. Jika Tuhan itu
ada, maka kita tidak bisa memilih Tuhan itu tidak ada. Tidak juga kita bisa
memilih Tuhan itu ada tapi tiada. Jika kita
meyakini Al-Quran adalah Kitab Tuhan yang pasti kebenaranya, maka kita tidak
bisa mengatakan yang sebaliknya, karena jika kita tetap menyatakan sebagai
Muslim tapi mengatakan Al-Quran sudah tidak rasional dan tetap memilih menjadi Muslim maka
kita termasuk orang-orang yang berpikir absurd. Dan sebenarnya itu sia-sia. Bahkan Syaitonpun
tidak pernah terlibat dalam kerancuan seperti ini. Kesalahanya adalah
kesombonganya yang disebabkan kecemburuanya kepada Adam ketika ia merasa
dirinya telah mengabdi kepada Allah dalam waktu yang lama tetapi justru Adam
yang dijadikan khalifah dimuka bumi.
Lawan dari absurd adalah sesuatu
yang jelas dan konsisten dimana sebuah pilihan memiliki dampak terhadap pilihan
yang lainya yang saling terkait dan mengikat. Seorang yang tidak mempercayai
Tuhan maka Konswekwensinya tidak meyakini Kitab-kitab Tuhan. Orang yang
menyatakan Tuhan Maha Benar maka konswekwensinya menyatakan bahwa Tuhan tidak
pernah keliru. Muslim yang meyakini Al-Quran maka meyakini Al-Quran itu benar
dan datang dari Allah yang Maha benar.
Seruan untuk berpikir (Menggunakan Akal) itu “harus” bahkan di
wajibkan bagi umat Islam. Berpikir
adalah kegiatan mencari jawaban atas suatu permasalahan. Untuk itu diperlakan
suatu referensi yang benar. Bukan berdasarkan pendapat pribadi yang sebenarnya
hawa nafsu. Jawaban dari apa yang diinginkan sebenarnya sudah tersimpan dalam
hatinya. Maka dicarilah pembenaran-pembenaran yang sebenarnya tida bisa
diterima akal.
Memang boleh kita menduga-duga
atau berhipotesa, atau berexperiment. Tetapi, yang mesti diingat adalah cara
berpikir seperti ini bisa salah dan bisa benar. Untuk urusan-urusan yang
menyangkut kebenaran hakiki sebaiknya kita tinggalkan cara ini. Kalaupun kita
harus berexperimen, setidakya kita menyadari bahwa kita sedang menduga dan
apapun hasil dari apa yang kita pikirkan adalah pendapat semata. Maka
konswekwensi logisnya adalah ketika ada jawaban yang lebih benar maka kita
buang pendapat kita dan kita terima pendapat yang lebih benar. Katakanlah yang
benar itu benar dan yang salah itu salah.
Mengatakan bahwa pemimpin seorang
muslim adalah harus dari kalangan muslim adalah wujud dari bersikap rasional atas keyakinan kita kepada Al-Quran. Jadi bersikap rasional adalah bersikap yang
tidak absurd. Adanya metode pengujian di
dalamnya. Jika A benar maka B salah. Al-Quran dikatakan
benar jika dan hanya jika ia tidak mengandung kesalahan. Begitu kita meyakini
dan menyatakan ada kesalahan di dalamnya maka kita tidak lagi meyakini
Al-Quran. Maka hendaklah kita tidak menjadi orang-orang yang segera memilih
kekafiran dikarenakan kebodohan dan ketidak telitian kita.
Berpikir dalam sudut pandang
Islam adalah berpikir dengan menempatkan Al-Quran sebagai referensi. Tidak
dikatakan kita berpikir jika kita mengabaikan Al-Quran. Kita disuruh berpikir
agar kita mendapat jawaban bahwa Allah adalah Tuhan kita dan dia adalah Tuhan
Yang Maha Benar. Ketiak Al-Quran meminta
kita untuk memperhatikan dan memikirkan bagaimana Allah menurunkan hujan. Pada
saat yang sama Allah memberitahu kita bagaimana proses hujan itu sebenarnya. Kita disuruh berpikir dan Allah senidrilah
yang memberi jawaban.
Tetapi Al-Quran tidak menyuruh
kita berpikir ketika Allah memberika larangan. Dalam hal ini kita disuruh kami
mendengar dan kami Taat. Allah mengatakan kepada kita janganlah kalian mengangakat
pemimpin dari kalangan non Muslim, maka patutkah kita menjawab. Kami mendengar, tetapi
AL-Quran sudah tidak relevan. Na’udzu billah summa Nau’dzu billah. Katakanlah
yang benar itu benar dan yang salah itu salah jika kita masih menganggap diri
kita mukmin dam muslim.
Marilah kita tanamkan bahwa konsekwensi
logis sebagai umat Islam adalah meyakini kebenaran Al-Quran secara totalitas
karena Allah itu Maha Benar dan apa yang dikatakan dalam al-quran adalah benar.
Apakah kita akan menukar semua ini itu karena silaunya kita melihat dunia atau
terpukau dengan kegagahan seseorang lelaki bernama Ahok?
Jika kita masih berimana kepada
Allah dan kepada apa-apa yang diturunkanya,
maka terkait dengan apa-apa yang baik buat kita dan apa yang tidak baik dalam
kehidupan kita, apakah itu masalah kepimimpinan, nafkah atau apapun, serahkan semua
kepada Allah yang lebih mengetahui. Inilah yang realistis dan logis dalam meyakini Allah sebagai Tuhan kita.
Apakah kita yang lebih mengetahui
tentang kehidupan ini atau Allah? Atau apakah karena pandangan dan keyakinan
kita terhadap sesuatu yang menurut kita baik membuat apa yang menurut Allah
menjadi tidak baik? Bisa jadi sesuatu itu baik bagi kita padahal itu buruk
dimata Allah. Melakukan perbuatan doisa adalah berbeda dengan tergelincir menjadi
kafir karena kebodohan dan atau kesombongan kita? Ingatlah dosa bisa diampuni tetapi menjadi
kafir akan diabaikan oleh Allah diakhirat nanti.
Apakah hal-hal yang baik bagi
kita itu kita dapat dari kepintaran kita sendiri, atau karena kekritisan kita
berpikir? Tidak ini adalah salah satu dari petunjuk dan hidayah Allah yang menuntun
kita dan memberi akal kita bahan pengetahuan tentang existensi Tuhan dan
tentang apa yang baik dan tidak baik bagi kita.
Siapa yang memilihkan makanan
yang halal dan baik untuk kita, diri kita atau Allah? Siapakah yang memberitahu
kita tentang kebodohan kaum musrik sehingga kita terlepas dari sikap demikian,
Allah atau kita? Siapakah yang memberi tau bahwa Yesus bukanlah Tuhan sehingga
kita menjadi umat yang mempunyai penangkal jitu bagi para misionaris sesat,
Allah atau kita?
Dan siapakah yang berhak
menentukan siapa pemimpin yang baik untuk kita, Allah atau kita? Maha benar
Allah atas segala firmanya. Maka mengapa kita tidak mengatakan “kami mendengar
dan kami taat”?
Akhirnya, semua ini adalah
pilihan. Tetapi jika kita masih mengatakan bahwa Al-Quran atau bersikap dengan
Al-Quran adalah sesuatu yang tidak realistis, maka Allah bertanya kepada kita. “...Maka
dengan perkataan mana lagi kamu akan beriman?”
تِلۡكَ ءَايَٰتُ ٱللَّهِ
نَتۡلُوهَا عَلَيۡكَ بِٱلۡحَقِّۖ فَبِأَيِّ حَدِيثِۢ بَعۡدَ ٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ
يُؤۡمِنُونَ ٦
Itulah ayat-ayat Allah yang Kami membacakannya kepadamu dengan
sebenarnya; maka dengan perkataan
manakah lagi mereka akan beriman sesudah (kalam) Allah dan
keterangan-keterangan-Nya? (Al Mujadillah:6)
الٓمٓ ١ ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ
لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ ٢ ٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡغَيۡبِ
وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ ٣ وَٱلَّذِينَ
يُؤۡمِنُونَ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ وَمَآ أُنزِلَ مِن قَبۡلِكَ وَبِٱلۡأٓخِرَةِ
هُمۡ يُوقِنُونَ ٤ أُوْلَٰٓئِكَ عَلَىٰ هُدٗى مِّن رَّبِّهِمۡۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ
هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٥
Al-baqoroh (1 :-5)
1. Alif
laam miim
2. Kitab
(Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa
3. (yaitu)
mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan
sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka
4. dan
mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan
Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya
(kehidupan) akhirat
5. Mereka
itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah
orang-orang yang beruntung
هَٰذَا بَصَٰٓئِرُ
لِلنَّاسِ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٞ لِّقَوۡمٖ يُوقِنُونَ ٢٠
20.( Al Quran) ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan
rahmat bagi kaum yang meyakini
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَۚ
وَلَوۡ كَانَ مِنۡ عِندِ غَيۡرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ ٱخۡتِلَٰفٗا كَثِيرٗا
٨٢
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran
itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya (Annisa:82)
وَمَا كَانَ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانُ
أَن يُفۡتَرَىٰ مِن دُونِ ٱللَّهِ وَلَٰكِن تَصۡدِيقَ ٱلَّذِي بَيۡنَ يَدَيۡهِ
وَتَفۡصِيلَ ٱلۡكِتَٰبِ لَا رَيۡبَ فِيهِ مِن رَّبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٣٧
Tidaklah mungkin Al Quran ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al
Quran itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum
yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari
Tuhan semesta alam (Yunus:37)
بَلۡ
هُوَ ءَايَٰتُۢ بَيِّنَٰتٞ فِي صُدُورِ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَۚ وَمَا
يَجۡحَدُ بَِٔايَٰتِنَآ إِلَّا ٱلظَّٰلِمُونَ ٤٩
49. Sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di
dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari
ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim
۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ ٱلۡيَهُودَ
وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ أَوۡلِيَآءَۘ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ وَمَن
يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ
٥١
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah
pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka
menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim
(Al-Maidah:51)
لَّا يَتَّخِذِ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ
ٱلۡكَٰفِرِينَ أَوۡلِيَآءَ مِن دُونِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَۖ وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ
فَلَيۡسَ مِنَ ٱللَّهِ فِي شَيۡءٍ إِلَّآ أَن تَتَّقُواْ مِنۡهُمۡ تُقَىٰةٗۗ
وَيُحَذِّرُكُمُ ٱللَّهُ نَفۡسَهُۥۗ وَإِلَى ٱللَّهِ ٱلۡمَصِيرُ ٢٨
28. Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir
menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu
yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri
(siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu)
تِلۡكَ ءَايَٰتُ ٱللَّهِ
نَتۡلُوهَا عَلَيۡكَ بِٱلۡحَقِّۖ فَبِأَيِّ حَدِيثِۢ بَعۡدَ ٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ
يُؤۡمِنُونَ ٦
Itulah ayat-ayat Allah yang Kami membacakannya kepadamu dengan
sebenarnya; maka dengan perkataan
manakah lagi mereka akan beriman sesudah (kalam) Allah dan
keterangan-keterangan-Nya? (Al Mujadillah:6)
0 comments:
Post a Comment