Tulisan
ini saya tulis terkait dengan pernyataan teman saya yang menyatakan bahwa pada
tingkatan tertinggi (ma’rifat) manusia
dapat melihat. Silahkan baca tulisan saya di link ini.
Menurut
ahli bahasa, kata Ma’rifat diambil dari kata ‘Arafa, Ya’rifu, ‘Irfan,
Ma’rifatan, yang artinya mengenal/mengetahui/pengalaman. Pada bidang khusus
Marifat diartikan sebagai ilmu. Lebih lanjut dikatakan bahwa semua ilmu disebut
Ma’rifat, dan semua Ma’rifat adalah ilmu, dan setiap orang memiliki ilmu
(‘alim) tentang Allah SWT. berarti seorang yang ‘arif, dan setiap yang ‘arif
berarti ‘alim. Berdasarkan pengertian ini orang yang berma’rifat adalah orang
yang memiliki ilmu (‘arif).
Jika kita
mengacu pada Al-Quran, kita tidak akan menemukan satupun kata ma’rifat secara
tepat atau apa adanya. Tetapi ada sebuah terori yang mengatakan bahwa kata
Ma’rifat diambil dari kata A’rafa, Yu’rifu, Irafan tetapi memiliki makna
berbeda, seperti dalam surat al-A’raf yang berpengertian tempat tertinggi
(tempat tertinggi antara Surga dan Neraka), yang akar katanya diturunkan dari
‘Irfan yang sesuai dengan Firman Tuhan
dalam surat Al A’raaf:46.
وَبَيۡنَهُمَا حِجَابٞۚ وَعَلَى ٱلۡأَعۡرَافِ رِجَالٞ يَعۡرِفُونَ
كُلَّۢا بِسِيمَىٰهُمۡۚ وَنَادَوۡاْ أَصۡحَٰبَ ٱلۡجَنَّةِ أَن سَلَٰمٌ عَلَيۡكُمۡۚ
لَمۡ يَدۡخُلُوهَا وَهُمۡ يَطۡمَعُونَ ٤٦
dan di
antara keduanya (penghuni surga dan neraka) ada batas; dan di atas A'raaf1 itu
ada orang-orang yang Mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan
tanda-tanda mereka. dan mereka menyeru penduduk surga: "Salaamun 'alaikum2".
mereka belum lagi memasukinya, sedang mereka ingin segera (memasukinya). (Al
A’raf:46)
Note :
1 Al
A'raaf artinya: tempat yang tertinggi di antar surga dan neraka.
2
Artinya: Mudah-mudahan Allah melimpahkan Kesejahteraan atas kamu.
Ma’rifat
menurut Sufi :
Istilah Ma'rifat berasal
dari kata "Al-Ma'rifah" yang berarti mengetahui atau mengenal
sesuatu. “Dan apabila dihubungkan dengan
pengamalan Tasawuf, maka istilah ma'rifat di sini berarti mengenal
Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf”
Jadi
menurut sufi, Ma’rifat adalah mengenal Allah-termasuk melihat Allah dengan mata
bathin, dan tidak ada yang bisa mengenal
Allah sebelum mencapai tingkatan ma’rifat. Tingkatan terendah adalah Syarit,
Hakikat dan Tarikat.
Sebenarny
Sulit memahami kata ma’rifat yang sesungguhnya. Dan mengingat banyaknya aliran
dalam kelompok sufi, pengertian marifat
dikalangan mereka pun beragam sekali. Terkadang bias dan tidak ada standar yang
pasti untuk memahaminya.
Perlukah
kita memahami kata ma’rifat sebagai jalan kita mengenal Allah sebagaimana yang
diyakini kelompok sufi dan kebatinan?
Mari kita
denganr sendiri apa kata orang sufi berikut:
“Sangat
sulit menjelaskan hakikat dan makrifat kepada orang-orang yang mempelajari
agama hanya pada tataran Syariat saja, menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist
akan tetapi tidak memiliki ruh dari pada Al-Qur’an itu sendiri. Padahal hakikat
dari Al-Qur’an itu adalah Nur Allah yang tidak berhuruf dan tidak bersuara,
dengan Nur itulah Rasulullah SAW memperoleh pengetahuan yang luar biasa dari
Allah SWT. Hapalan tetap lah hapalan dan itu tersimpan di otak yang dimensinya
rendah tidak adakan mampu menjangkau hakikat Allah, otak
itu baharu sedangkan Allah itu adalah Qadimsudah
pasti Baharu tidak akan sampai kepada Qadim. Kalau anda cuma
belajar dari dalil dan mengharapkan bisa sampai kehadirat Allah dengan dalil
yang anda miliki maka saya memberikan garansi kepada anda: PASTI anda
tidak akan sampai kehadirat-Nya”
Jadi
katanya kalau kita belajar agama berdasarkan dali Al-Quran dan hadist saja maka
kita dijamin kita tidak akan sampai kepada hadirat NYA. Padahal Allah dan nabi
dengan jelas memberi tahu kita agar kita selalu berpegang kepada kitabullah dan
Sunnah Rasul nya, bukan kepada hakikat dan ma’rifat versi kalangan sufi yang
rumit. Tak ada pembagian-pembagian manusia menurut syariat, hakikat, tarikat
dan ma’rifat. Ketinggian atau kemulian manusia hanya didasarkan kepada tingkat
ketaqwaan bukan karena sudah mencapai maqam tertinggi yaitu Ma’rifat.
Kata-kata
nyeleneh itu memang tidak untuk difahami karena memang tidak ada makna. Memang
bukan kaum sufi kalau tidak nyeleh. Pada tingkatan tertinggi guru-guru mereka
sering mengeluarkan kata-kata nyeleneh semisal
“Tuhan
adalah Aku dan Aku adalah Tuhan”. (AL khallaz)
“Apakah
jika neraka dan surga tidak ada maka kita akan masih menyembah Tuhan?” Al-Quran
menjelaskan bahwa diciptakan jin dan manusia untuk menyembah Tuhan. Yang taat
kepada Tuhan akan diberi balasan surga dan sebaliknya yang tidak taat kepada
Tuhan maka akan diberi balasan Neraka. Tidak ada pengandaian seperti itu.
Faktanya kita disuruh menyembah baik terpaksa maupun karena suka rela.
Berikut
adalah kata-kata yang berati perkataan kaum sufi, Rabi'ah Al-Adawiyah, ia
berkata, "Aku menyembah Allah KARENA TIDAK TAKUT NERAKA-NYA dan TIDAK
MENDAMBAKAN SURGA-NYA. (Jamharatu Al-Auliai, Al-Manufi Al-Husaini, Jilid 1,
hal. 270). Benarkah ia tidak mendambakan surga Allah?
Bahkan pendapat bodoh pengikut sufi diwebsite tetangga mengkonfrontasikan antara ilmu pengetahuan dengan
ma'rifat (rasa-rasanya mirip sama temen saya juga nih), dengan judul
"Perbedaan Ilmu Pengetahuan dengan Ma'rifat", dengan mengatakan "Kalau
saling meng-ilmu-i (Bersikap ilmiah) antar bangsa akan saling berperang". Silahkan baca tulisanya di sini
Banyak
sekali kata-kata nyeleneh kaum sufi yang sudah mencapai tingkatan “Ma’rifat”
yang tidak mugkin saya bahas dalam tulisan ini. Anehnya kondisi nyeleneh ini
bukanlah indikasi “Kegilaan seseorang”, melainkan tercapainya tingkatan
tertinggi dan dipuji oleh para murid nya.
Kembali
pada kata ma’rifat
Istilah
ma’rifat lebih sering memiliki arti dan maksud yang berbeda tergantung siapa
yang bicara dan siapa yang diajak bicara. Maka dalam hal ini ia tidak memiliki
sifat yang universal. Ketika kita membincangkan hal ini dengan kalangan sufi,
bukan hal yang tidak mungkin kita kerap didikte oleh pernyataan-pernyataan yang
menyalahkan bahwa kita tidak memahami arti kata ma’rifat dengan sebenarnya atau
bahwa kita akan selalu diklaim sebagai orang yang melulu bicara dalam tingkatan
syariat dan selanjutnya selanjutnya, seolah kita rendah dan bodoh ketika ketika
membahas permasalahan-permasalahan agama.
Jika
demikian maka kita sering terpaksa untuk mendengarkan penjelasan mereka tentang
ma’rifat dan istilah terkait lainya yang kerap sulit dicerna oleh akal sehat
kita. Menurut saya ini merupakan indikasi sulitnya memahami ma’rifat dalam
pemahaman aliran yang sangat mengutamakan pentingnya ma’rifat dalam hal
beragama yang bahkan secara tdk langsung meremehkan urusan-urusan syariat dan
muamalah yang telah banyak dicontohkan Rasullulah SAW. Padalah kehidupan
didunia ini tidak pernah lepas dari permasalahan lahiriyah dan non lahiriyah
dimana keduanya memiliki porsi yang seimbang.
Bertolak
belakang dengan metode-metode Al-Quran yang menerangkan cara-cara meningkatkan
kualitas ketaqwaan kita yang mudah dicerna dan menunjukan ke universalan ajaran
Tuhan tanpa mengkotak-kotakan tingkatan baik starta sosial ataupun pemikiran,
ma’rifat yang sering dibahas oleh sufisme kerap menuntut kita memahami sesuatu
yang sulit dipahami dan memang tidak tidak dapat dipahami dalam kacamata
seorang mahluk, menggunakan kacamata bathin.
Agama ini
untuk orang yang berakal. Dengan akal kita disuruh memahami ayat-ayat Tuhan,
bukan dengan bathin. Selain itu agama
menyeru kita kepada hal-hal sederhana yang mudah dipahami dan dipraktikan tanpa
perlu teori yang berbeli-belit dan inilah sifat universalnya agama (tentunya
agama Islam) yang terbebas dari unsur mitos dan hal-hal tidak masuk akal serta
kontradiktif seperti yang telah terjadi pada agama-agama lain.
Mengingat
perbedaan pemahaman tentang ma’rifat yang sudah mengkristal dan melahirkan
banyak aliran-aliran yang mengklaim bahwa ilmu ma’rifat sebagai satu-satunya
metode menuju jalan teragung menuju Allah SWT terlepas dari akhirnya menjadi
tidak rasional sekalipun, maka bahasan Ma’rifat yang terkait dengan terminologi
lainya teruatama sufisme akan kita bahas pada bahasan kusus.
Istilah
ma’rifat dapat difahami ketika diartikan sebagai kondisi dimana kita memahami
agama berdasarkan pengetahuan yang benar
karena ini akan dapat membawa kita kepada
ketaqwaan, bukan sebuah tingkatan dimana manusia merasa dekat dan bahkan
menyatu dengan Tuhan seperti ucapan-ucapan yang kurang pantas para tokoh
sufisme yang kontroversial seperti “anal haq”, “wahdatul wujud” dan lain
sebagainya.
Ma’rifat
dalam beberapa aliran sufi telah menjadi sebuah ideologi tersendiri yang
bertentangan dengan Al-Quran. Salah satunya adalah keyakinan bodoh mereka bahwa
seseorang bisa melihat Allah ketika di dunia. Sedang Al Qur'an menyangkal semua
ini. Sebagaimana kisah Nabi Musa yang ingin melihat Allah, artinya: " Rabb
berfirman: "Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihatKu, tapi lihatlah ke
bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu
dapat melihat-Ku". Tatkala Rabbnya menampakkan diri kepada gunung itu,
dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. (QS. 7:143)
Lebih
lanjut, umumnya kaum sufi punya keyakinan bahwa dunia dan seisinya diciptakan
karena Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Salam padahal Allah telah
berfirman bahwa jin dan manusia diciptakan adalah untuk beribadah.
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ
إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦
Dan aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku
(Adhariyat:56)
Wallahualam
bisawab
0 comments:
Post a Comment