Benarkah negeri ini negeri demokrasi?


Kemarin 4 november 2016, saya memutuskan tidak ikut demo karena menurut saya pribadi demo adalah cara-cara orang barat liberal anarkis yang diekspor ke negeri ini, yang mana pada saat yang bersamaan saya sebagai muslim merasa tidak bisa menerapakan karena tidak sesuai dengan pemahaman yang saya yakini. Tetapi saya yakin apapun namanya itu, demo 4 november adalah hak konstitusi untuk menyalurkan aspirasi, kekecewaan dan kemarahan yang jelas-jelas sah dilakukan di dalam negeri ini. Untuk itu, mohon maaf kepada sudara-sudaraku yang ikut demo jika pemahaman saya salah dan berbeda. Bukan saya tidak mencintai Islam, tetapi bukankah sejak Al Quran diturunkan kepada nabi kita, sampai saat ini, bahkan oleh kalangan munafikun (orang Islam yang membenci Islam), Al Quran terus dihina dengan berbagai cara? Hauskah kita marah?

Tentu dan itu wajib. Marah itu fitrah manusia. Tidak seperti babi yang tidak punya rasa marah dan cemburu ketika betinanya dicumbu oleh pejantan lainy. Cuma bagaimana rasa marah kita ini harus kita salurkan. Bukankah Islam adalah agama yang memiliki petunjuk yang lengkap yang mengatur bagaimana kita bersikap. Di negeri ini kita memang penduduk mayoritas. Tetapi ingat, bukankah ayah-ayah dan kakek-kakek kita kita sepakat untuk tidak menerapkan hukum Islam kecuali untuk beberapa hal. Jadi bila dalam pemerintahan yang didasarkan syariat Islam, peristiwa-peristiwa yang dapat menimbulkan kegaduhan masyarakat apalagi mengandung unsur penistaan segera ditangani oleh petugas yang berwenang, maka di negeri kita ini perlu proses panjang yang sering butuh reaksi masyarakat sebelum akhirnya benar-benar diproses meski terkadang harus bergantung seberapa besar reaksi masyarakat terhadap kasus semacam ini. Agak sulit memang, dalam sistem demokrasi meski jelas ada undang-undang penistaan baik itu penistaan agama atau nama baik seseorang, maka butuh dulu reaksi masyarakat. Artiya kalo masyarakat diam saja maka tidak ada namanya penistaan dan kasusnya "nothing" meski misalkan jelas-jelas sebenarnya memang ada penistaan.

Kita berharap penguasa negeri ini yang notabene mayoritas muslim peka dan segera memproses kasus ini sesuai dengan hukum yang berlaku. Hukum adalah mekanisme dalam mengatur kehidupan dan ketertiban manusia. Dalam Islam tidak ada menyerahkan hukum kepada Tuhan karena Tuhan telah menegaskan hukum-hukumnya melalu kitab Nya dan telah dicontohkan oleh nabi-nabi Nya. Hanya hukum akhirat dan segala apa yang luput dan memang tidak dapat dilaksanakan manusia yang bisa kita kembalikan kepada Tuhan. Untuk itu demi keadilan dan penegakan hukum maka, siapaun yang jelas dan terbukti melakukan penistaan terhadap agama, apapun agama itu dan apapun agama pelakunya, maka janganlah menunggu reaksi masyarkat dan semoga ini menjadi pembelajaran bagaimana hendaknya pemimpin memiliki ahlak yang baik dan menjaga lisanya, siapapun pemimpin itu, dimana dia bertugas dan apapun agamanya. Bukankah Nabi kita berkata, “Demi Allah, apabila Fatimah (Putri Nabi) Mencuri, maka aku yang akan memotong Nya”.

Tetapi, hendaknya kita juga menahan diri dan tidak terlalu berlebihan dalam bersikap. Kedepan, untuk permasalahan seperti ini cukup kemarahan kita diwakili oleh MUI saja, sebagai lembaga yang sah. Jangan dengar dan terpropokasi oleh kaum munfaik yang selalu mempertanyakan legalitas dan keputusan MUI. Ini aturan mainya. Kalau tidak sependapat dengan MUI silahkan kalian datang ke MUI atau jika tidak ada titik temu silahkan kalian pengaruhi presiden utuk membubarkan MUI. Itu cara yang benar ketimbang membuat masyarakat bingung. Bukankah MUI itu terdiri dari beberapa kelompok organisasi Islam yang resmi? Pertanyaanya, jika MUI tidak kompeten lantas apakah kalian merasa lebih kompeten? Bagaiaman jika mayoritas masyarakat juga tidak mempercayai kalian? Dan bukankah itu fakta kecuali segelintir Munafikin yg terpengaruh faham liberal dan pluralisme buta dan absurd untuk diterapkan. Jika kalian tidak mengingkan MUI dan masyarakat tidak meginginkan kalian, lantas apakah umat Islam harus berfatwa dan bersikap sendiri-sendiri? Sampai kapan kalian akan mengedepankan polemik dan membingungkan masyarakat?

Kembali pada masalah Ahok, pada akhirnya, kita harus berlapang dada apapun keputusan yang akan diambil pemerintah. Mari kita kembalikan semua kepada pemerintah dan penegak hukum, bukankah taat kepada pemerintah (Penguasa) adalah bagian dari tauladan nabi dan para sahabat sebagai generai terbaik. Mari kita sikapi masalah ini dengan cara yang benar. Tidak mungkin menginginkan kebenaran dengan cara yg tidak benar. Lawanlah hinaan terhadap Al Quran dengan cara “MENGAMALKAN” Al Quran. Mudah bukan?

Manusia memang sering memiliki pemikiran dan niat baik. Tetapi baik bagi manusia belum tentu baik bagi Allah dan bagi kita umat Islam, sudah jelas demo sebaik apapun caranya dan apapun mau diartikan, bukanlah cara kita karena Islam mengajarkan cara yang lebih bermartabat. Bukankah para khawariz mendemo Khalifa Ali Bin Abi thalib? Dan bukankah cara para khawariz itu sudah diperingatkan oleh nabi kita?

Demo mungkin baik, tetapi juga banyak mudhorotnya. Apakah kita hidup dalam pemerintahan yang berdasarkan syariat Islam atau Demokrasi, tetap saja mekanisme nya adalah menyerahkan kepada pemerintah. Bedanya dalam pemerintah yang berdasarkan syariat Islam, maka tak perlu reaksi umat untuk memproses kasus-kasus demikian karena semua itu adalah kewajiban pemerintah.
Ada beberapa hal yang mesti kita jadikan pelajaran Pasca demo 4 november 2016. Salah satu keburukan demo yg dilakukan atas nama Islam adalah stigma buruk terhadap Islam itu sendiri dan muncul nya komentar-komentar dari pembenci-pembenci Islam serta orang-orang bodoh yang tidak memahami Islam tetapi berbicara seolah-olah memahami Islam. Memang ada sedikit keuntunganya, yaitu kita bisa melihat orang-orang munafik yang tidak malu-malu menampakkan kemunafikanya baik dari orang yang ber KTP Islam tapi membenci Islam maupun dari penggiat demokrasi yang munafik. Memang tidak semua penggiat demokrasi itu munafik.

Memang Aneh. Mereka, para penggiat demokrasi yang dalam hatinya ada penyakit,  terus menerus menyeru demokrasi dan menuntut kebebasan berorasi dan unjuk rasa tetapi pada saat yang sama ketika umat Islam mengambil haknya dalam berdemokrasi secara resmi maka mereka mencibir dan mencaci. Bukankah dalam Demokrasi demo adalah sesuatu yang halal. Bukankah merekapun melakukan demo untuk kepentingan mereka? Bukankah demo adalah sesuatu yang sudah biasa dinegeri ini dan menjadi tren dunia? Bukankah demo itu berarti tuntutan, minta perhatian pemerintah, menekan pemerintah. Apa bedanya demo anti Korupsi, Demo Kenaikan BBM, Demo Save KPK, Demo ini, demo itu, demo Tahun 1998 yg menjadikan anda semua bebas berbicara dengan demo umat Islam meminta agar penguasa ini bersikap tegas.

Ingatkah penggiat demokrasi itu, saat dimana SBY berkuasa dan menaikan harga BBM. Ada Partai yang ikut demo BBM dan membaur dengan masyarakat. Kemudian ketika partai itu berkuasa, tidak malu-malu mereka langsung menaikan BBM. Saat ini, ketika ada anggota DPR ikut demo 4 November mereka dan simpatisan mereka mencibir seolah lupa bagaimana mereka pernah melakukan hal yang sama saat SBY Berkuasa.

Bagi para penggiat demokrasi yang munafik, demo itu halal ketika mereka yang melakukan. Tetapi ketika umat Islam berdemo, maka seketika demo seolah-olah menjadi sesuatu yang NASJIS dan MENJIJIKAN, sekali lagi NAJIS dan MENJIJIKAN. Pelakunya Intolerant. Tukang Memaksakan kehendak, Tukang Ngamuk, Jual Agama. Lagipula apakah ada demo yang murni beretika sesuai agama? Bukankah demokrasi kita saat ini berdiri diatas darah korban demo tahun 1998? Masya Allah.....ternyata penyakit munafik ada juga pada penganut demokrasi.

Lihatlah, demo kemarin, digiring, digambarakan dan dibesar-besarkan seolah-olah demo tersebut adalah sikap intolerant terhadap agama lain, sehingga orang-orang Munfaik dari kalangan umat Islam berkoar-koar cari perhatian minta perhatian keapada umat agama lainya seolah-olah mereka adalah pahlawan, pembela kaum tertindas. Mereka ngoceh seolah-olah selama ini umat Islam telah berlaku tiadk adil dan selalu menistakan agama umat lainya. Dapatkah mereka itu mendatangkan bukti bahwa kita umat Islam telah melakukan ketidak adilan kepada saudara-saudara kita non muslim? Apakah mereka menutup mata terhadap pencaci Islam dinegeri ini? Apakah mereka dapat membuktikan bahwa Islamlah yang duluan mencaci, menista dan menghina non Muslim?

Apa yang dikatakan itu sebenarnya Jauh api daripada panggang. Jelas-jelas demo 4 november adalah demo sebagai reaksi atas kemarahan umat Islam kepada Ahok pribadi, bukan kepada umat beragama lainya dan itupun dilakukan sesuai aturan demokrasi, tidak liar dan memiliki izin resmi. Kenapa para munafik itu merengek dan meratap meminta agar umat Islam sadar atas sikap nya selama ini,seolah-olah umat Islam adalah Robot yang tidak punya hati nurani dan hanya para munafik itu saja yang memiliki hati nurani.

Wahai penggiat dan pencinta demokrasi, bukankah demo yang dilakukan umat Islam 4 November adalah bagian yang sah dan halal dalam ajaran demokrasi yang kalian dengungkan dan banggakan? Mengapa kalian tiba-tiba seolah-olah menjadi orang yang alergi dengan demokrasi? Atau dari mana kalian memiliki aturan bahwa demokrasi tidak boleh atas nama agama? Darimana kalian punya barometer untuk menentukan bahwa demo yg dilakukan 4 november itu adalah bengis kejam, memaksakan kehendak sementara demo yang lain tidak?

Whai penggiat demokrasi, darimana kalian bisa memastikan bahwa seluruh pengikut demo adalah orang yang dibayar, orang yang ingin menjatuhkan Ahok karena urusan Pilkada? Apakah kalian tau isihati mereka? Bukankah Fitnah lebih kejam dari pembunuhan? Mengapa kalian tidak bisa ber husnudzon? Bagaimana kalian tiba-tiba menuunjukan permusuhan dan ketidak percayaan kepada umat Islam?

Demo 4 November, mungkin saja ada yang mendompleng. Mungkin saja ada orang-orang yang punya agenda lain. Tetapi itulah yang harus dibayar dari demo yang merupakan bagian dari demokrasi. Siapa saja bisa ikut. Siapa saja bisa menyusup. Siapa saja bisa membuat suasana menjadi tak tekendali. Apakah kalian seolah-olah lupa, bahwa tak pernah terjadi demo didunia ini? Lantas adakah demo yang sama sekali bersih dari rusuh? Ingat bukankah demokrasi kita ini dibangun di atas darah korban-korban kerusuhan 98? Lihat demo yang diekspor ke Timur Tengah. Bukankah awal muasal kerusuhan itupun terjadi karena demo. Bukankah demo itu menuntuk kebebasan berbicara yang dihembuskan oleh orang-orang barat liberal anarkis?

Satu hal yang paling disayangkan dari demo kemarin adalah adanya beberapa gelintir dari umat lain yg juga ikut sibuk memaki dan mencaci para pendemo. Mereka terjemahkan Aksi demo itu sebagai “NGAMUK” Seolah-olah Islam tidak mengenal ahlak dan tidak memiliki ajaran ahlak. Seolah-olah mereka saja yang memiliki konsep memaafkan musuh meski hal ini bisa kita pertanyakan dan uji dalam ajaran mereka sendiri. Padahal marah dan memaafkan adalah bagian dari ajaran Islam yang jelas mulai dari adab serta saluranya. Tidak abstrak, tapi jelas. Nabi kita memaafkan banyak musuhnya ketika menaklukan Mekkah, tempat dimana beliau pernah terusir dan dianiaya. Lalu Manakah yang lebih mulia, memaafkan manusia yang menyakiti kita saat kita punya kesempatan untuk membunuh dan membalas dendam hinaan tersebut ataukah memaafkan musuh kita saat nyawa kita berada ditangan mereka? Apakah ada artinya? Tentu saja, dalam hukum, memaafkanpun ada mekanismenya.
 
Saudaraku yang berbeda keyakinan dan ikut terjerumus dalam caci mencaci dan sindir menyindir pada persitiwa demo 4 november, hentikanlah sikap demikian. Mari kita benar-benar menyeru kedamaian dan tidak mengambil kesempatan dalam kesempitan ini. Janganlah kalian terpropokasi dan terperdaya oleh kalangan munafik dari kelompok Islam yang seolah-olah membela kalian padahal justru dapat membuat kalian pada posisi yang sulit. Mereka adalah orang-orang yang berpura-pura lupa dengan masalah sebenarnya. Ingatlah dan camkanlah,   demo yang dilakukan umat Islam adalah bagian dari kesepakatan politik dalam negeri Demokrasi. Titik, janganlah kalian cari-cari cacat dan hinanya karena itu sama saja kalian membongkar kehinaan semua yang mendambakan negeri ini menjadi demokrasi yang bebas menyatakan pendapat dan teriak-teriak dijalan menyerukan aspirasinya.

Wahai penggiat demokrasi, kalian benar. Ini negeri demokrasi. Maka janganlah tunjukan muka dua terhadap orang yang menjalankan aspirasi demokrasi. Janganlah kalian buat masyarakat ini bingung. Bukankah kalian selalu menyeru "Damai", bagaimana menciptakan damai dengan menebarkan kebencian? Kalau kalian menilai demo 4 november adalah aksi menebar kebencian maka apa bedanya kalian?

Wahai saudaraku yang berbeda keyakinan, marilah benar-benar mencipatakan damai dan ketenangan antar umat beragama. Jangan hanya damai dalam mulut, tetapi berbeda dalam praktek. Jika kalian ingin mendukung Ahok, dukunglah. Tidak ada yang melarang mendukung ahok, tetapi hindari dan tahanlah diri kalian dari nafsu terlibat dalam konflik internal umat Islam. Tidak semua umat Islam , yg tidak ikut berdemo itu otomatis membenarkan segelintir munafikun yang menentang para pendemo, melainkan lebih kepada cara menyalurkan aspirasi yang lebih baik. Kami tidak menutup mata adanya oknum-oknum yg tukang mencaci dan jangan pulalah kalian merasa seperti malaikat bahwa tidak terdapat oknum-oknum pencaci dari kalangan kalian.

Wahai saudaraku yang berbeda keyakinan, masalah penistaan adalah masalah yg peka bagi kita semua.  Sebagai minoritas apapun agama kita dan dimanapun kita tinggal, pasti kita akan lebih mampu menahan diri karena memang tidak ada pilihan yang lebih baik dari itu. Maka itu, janganlah kalian menutup mata, meremehkan dan merasa bersikap lebih baik dari umat Islam seolah-olah kalian ini malaikat yang turun dari langit.  Sebagian Muslim juga hidup sebagai minoritas diberbagai negara dan perlakuan tidak menyenangkan pun banyak dirasakan. Marah? Harus. Nagmuk, lihat hukum yang berlaku. Itulah kejelasan dalam Islam. Jelas tidak samar. Islam adalah agama berdasarkan Dalil bukan menurut interprestasi pribadi-pribadi.

Tentu saja kami yang mayoritas malu jika harus bermusuhan dengan kalian dan kami samasekali tidak menginginkan pertikaian itu. Kalau ada dari saudara-saudara kami yang berlaku tidak adil dan menghina atau memperlakukan kalian dengan tidak menyenangkan maka itu adalah oknum dan biarlah hukum yang berbicara. Tetapi jika itu luput dari hukum, maka bersabarlah dan serahkanlah kepada Tuhan.

Akhirnya umat Islam dari berbagai kalangan dan kelompok (Bukan hanya FPI saja sebagaimana yg mereka kira) telah menyalurkan aspirasinya. Mari kita serahkan kepada proses hukum. Jangan kita benci Ahok sebagai pribadi. Tetapi bencilah Ahok atau siapapun dan apapun agamanya termasuk umat Islam sendiri atas kualitasnya yang tidak mampu mengkontrol kata-katanya apalagi sebagai pemimpin. Semoga semua ini jadi pembelajaran. Mulutmu harimaumu. Semoga menjadi pelajaran bagi para pemimpin.

Semoga negeri ini aman dan damai untuk semua penduduknya apapun agama mereka. Kepada umat Islam, marilah kita terus belajar. Pemimpin kita saat ini adalah cerminan kualitas kita. Ini adalah Sunnatullah. Ketika kita benar-benar memahami agama kita, ketika kita benar-benar berkualitas, maka Allah Azza Wajalla akan menurunkan kepada kita pemimpin-pemimpin yang berkualitas. Dan itu janji Allah. Dan ingatlah kekuasaan itu adalah sesuatu yang dipergilirkan dan itu adalah ketetapan Allah. Maka sebagai umat Islam, seperti apapun pemimpin-pemimpin kita itu adalah bagian dari ketetapan Allah.

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35)

Dan hendaklah Perintah Allah kepada Musa dan Harun, sebagaimana juga nabi kita contohkan, kita terapkan dalam menasehati pemerintah (penguasa) dan serahkan semua tugas ini kepada para ulama yang selalu siap menasehati pemerintah dengan kata-kata yang lembut.

"Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut". (Thaha 42-44)

2 comments: Leave Your Comments