Suatu
ketika seorang kawan saya mengatakan bahwa pada tingkatan tertentu manusia bisa
melihat Tuhan. Dalam keadaan hidup tanya saya memastikan. Ya, dalam keadaan
hidup jawabnya serius. Saya tertawa. Tetapi kawan saya semakin serius.
Bagaimana mungkin, desak saya. Tentu saja manusia yang sudah mencapai tingkatan
ma’rifat tertentu katanya.
Sungguh
saya tidak begitu paham maksudnya dan siapa orang yang dimaksudnya yang
memiliki tingkatan yang dikatakanya sebagai ma’rifat tersebut? Guru-nya kah?
Saya
katakan kepadanya, bagaimana mungkin. Tidak ada rumusnya dan tak satu dalilpun
yang menjelaskan manusia dapat melihat Tuhan dalam ke adaan hidup. Bahkan
Nabipun tidak bisa dan tidak pernah melihat Tuhan. Kisah nabi Musa adalah
contoh yang jelas.
Air
mukanya sedikit berubah. Bahkan dia menantang saya jika saya berani melihat
Tuhan. Saya bertanya, bagaimana caranya. Kemudian dia menceritakan seorang
kawanya (mungkin gurunya) yang dapat mempertemukan saya dengan Tuhan dalam
keadaan hidup. Kuat ga? tantangnya.
Saya tersenyum.
Akhir-akhir ini sikap kawan saya memang
terlihat aneh. Kata-katanya cenderung bernada sufistik kebatinan. Siapa lagi
orang yang selalu mengelompokan manusia
ke dalam makna hakikat, tharikat dan ma’rifat kalau bukan orang-orang ini?
Kawan
ikut tersenyum. Saya tau senyumnya
mererndahkan saya yang menurutnya tidak memahami tentang ilmu kebatinan
sufistik. Kemudian, dengan gaya yang tampak bijaksana, dia mulai bercertia
tentang tingkatan-tingkatan hidup manusia. Kisah musa itu benar, katanya, tetapi
kita harus memahami tingkatan-tingkatan hidup manusia. Kemudian dia mulai
berbicara hakitkat, tarikat dan ma’rifat, beberapa istilah yang tidak asing
tapi sejujurnya saya tidak memahami secara mendalam.
Katanya,
ma’rifat adalah tingkatan tertinggi manusia. Pada tingkatan ini manusia telah
mencapai puncak kehidupan dimana kedudukan manusia semacam ini telah mencapai
kedekatan dengan Allah SWT. Itulah mengapa manusia pada tingkatan ini bisa melihat Tuhan.
Saya
diam. Dalil yang saya jadikan hujjah ketidak mungkinanya manusia melihat Tuhan
dalam ke adaam hidup seolah hanya berlaku untuk manusia biasa, setikanya
menurut kawan saya. Dengan kata lain, dalil ini tidak berlaku bagi orang-orang
yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat. Masalah Ma’rifat akan saya coba bahas
dalam tulisan tersendiri. Setau saya tidak satupun nash yang kuat yang keluar
dari nabi kita terkait dengan hakikat, tariqat dan ma’rifat. Satu-satunya kata
Ma’rifat kita temukan dalam surat Al-Maarij tapi maksud nya jauh dari yang
dimaksud kawan saya. Lagi pula, jika hakikat, tarikat dan ma’rifat adalah
sebuah konsep yang harus di fahami untuk memahami Isam maka sejak SD kurikulum
agama Islam yang kita pelajar pasti akan membahasnya.
Jadi,
yang saya tau, dalam agama ini tak ada
pembagian manusia berdsarakan tingkatan-tingkatan yang dimaksud. Justru
tingkatan tertinggi dalam Islam adalah saat manusia mencapai tingkatan taqwa
sebagaimana firman Allah berikut :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ
إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ
لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ
عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Al-Hujarat:13)
Pada ayat tersebut,
jelas sekali Allah mengatakan bahwa , tingkatan manusia yang paling tinggi
(mulia) adalah takwa bukan orang yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat. Lantas
apakah orang yang paling Mulia atau paling bertaqwa ini dapat melihat Tuhan?
Tak satupun Allah memberi pengetahuan ini kepada kita.
Kisah Nabi musa
merupakan penjelasan yang paling gamblang bahwa seorang nabi yang mendapat
mu’zizat berkata-kata langsung kepada Tuhan pun tidak pernah bisa melihat Tuhan meskpun ia pernah mengutara kan
keinginanya langsung kepada tuhan sebagaiman yang diceritakan dalam ayat
berikut :
وَلَمَّا
جَآءَ مُوسَىٰ لِمِيقَٰتِنَا وَكَلَّمَهُۥ رَبُّهُۥ قَالَ رَبِّ أَرِنِيٓ أَنظُرۡ
إِلَيۡكَۚ قَالَ لَن تَرَىٰنِي وَلَٰكِنِ ٱنظُرۡ إِلَى ٱلۡجَبَلِ فَإِنِ ٱسۡتَقَرَّ
مَكَانَهُۥ فَسَوۡفَ تَرَىٰنِيۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُۥ لِلۡجَبَلِ جَعَلَهُۥ
دَكّٗا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقٗاۚ فَلَمَّآ أَفَاقَ قَالَ سُبۡحَٰنَكَ تُبۡتُ إِلَيۡكَ
وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ١٤٣
Dan
tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami
tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa:
"Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat
kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup
melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya
(sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya
menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan
Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata:
"Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang
pertama-tama beriman" (al-A’raf:143)
Musa adalah salah satu
nabi dimana Allah berkata-kata langsung kepadanya. Seorang Nabi adalah manusia
dengan tingkatan yang lebih tinggi dari manusia
biasa. Nabi adalah orang-orang yang khusus diutus untuk membawa misi
Tuhan oleh karena itu para nabi adalah orang-orang yang dijamin Tuhan dari
kesalahan dan dosa. Mereka adalah
manusia-manusia yang lebih dekat dengan Tuhan.
Sementara, diluar para nabi, tingkatan manusia ditentukan berdasrkan
kepada ketaqwaanya keapada Tuhan, bukan karena dia seorang raja, presiden,
Kyai, Ulama dan lain sebagainya.
Jika para nabi sendiri tidak bisa melihat Tuhan
secara langsung dengan mata kepala sendiri, maka adakah manusia diluar nabi
yang dikatakan memiliki tingkatan ma’rifat tertinggi dapat melihat Tuhan?
Dilain ayat, al-quran
pun menegaskan bahwa diri-NYA tidak bisa dilihat oleh manusia melalui mata seperti
yang dijelaskan berikut :
لَّا
تُدۡرِكُهُ ٱلۡأَبۡصَٰرُ وَهُوَ يُدۡرِكُ ٱلۡأَبۡصَٰرَۖ وَهُوَ ٱللَّطِيفُ ٱلۡخَبِيرُ
١٠٣
103. Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui (Al An;am:103)
وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدُۢ ٤
dan tidak ada
seorangpun yang setara dengan Dia"
(QS Al-Ikhlas: 4)
Ayat di atas semakin
menjelaskan bahwa tidak ada yang setara denganya. Artinya jika ada seorang
mahluk ketika masih hidup dapat melihat Allah, maka ia pasti dapat
menggambarkan ciri-ciri Allah berdasarkan penglihatanya, jika demikian gugurlah
ayat yang menyatakan “tidak ada sesuatupun yang setara dengannya” Dan siapapun yang mempercayai teori dangkal
kawan saya ini, maka ia sama saja tidak meyakin dan memahami ayat-ayat Allah.
Kebodohan Manusia yang
terulang.
Meyakini seorang
manusia dapat melihat Tuhan sebenarnya adalah kebdohan yang terulang.
Membagi-bagi tingkatan manusia dalam seperti dalan ilmu kebatinan sufisme
sebenarnya adalah pengulangan-pengulangan bagaimana orang-orang Yahui
mengadakan tingkatan-tingkatan dan derajat manusia sampai-sampai mereka
menjadikan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan Selain Allah. Kisah orang melihat
Tuhan yang tampak absurd dapat kita lihat dalam kitab-kitab yang mereka akui
sebagai wahyu Tuhan dari para nabi mereka.
Yakub menamai tempat
itu Pniel, sebab katanya: "Aku telah melihat Allah berhadapan muka, tetapi
nyawaku tertolong!" (Kejadian:32:30). Ayat tersebut jelas bertentangan
dengan keimanan kita sebagai umat Islam.
Dan TUHAN berbicara
kepada Musa dengan berhadapan muka seperti seorang berbicara kepada temannya;
kemudian kembalilah ia ke perkemahan. Tetapi abdinya, Yosua bin Nun, seorang
yang masih muda, tidaklah meninggalkan kemah itu. (Keluaran 33:11). Ayat ini jelas bertentangan dengan Al-Quran
yang menceritakan kisah tentang Musa.
Lalu mereka melihat
Allah Israel; kaki-Nya berjejak pada sesuatu yang buatannya seperti lantai dari
batu nilam dan yang terangnya seperti langit yang cerah. (Keluaran 24:10). Ayat
ini jelas bertentangan dengan Al-Quran
surat Al-Iklash
Pada saat yang lain
kitab mereka sendiri mengatakan bahwa
tak seorangpun dapat melihat Tuhan:
Lagi firman-Nya:
"Engkau tidak tahan memandang wajah-Ku, sebab tidak ada orang yang
memandang Aku dapat hidup." (Keluaran:33:20)
"Tidak seorangpun
yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan
Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya." (Yohanes 1:18)
"Bapa yang
mengutus Aku, Dialah yang bersaksi tentang Aku. Kamu tidak pernah mendengar suara-Nya,
rupa-Nyapun tidak pernah kamu lihat," (Yohanes 5:37)
"Hal itu tidak
berarti, bahwa ada orang yang telah melihat Bapa. Hanya Dia yang datang dari
Allah, Dialah yang telah melihat Bapa." (Yohanes 6:46)
15. yaitu saat yang
akan ditentukan oleh Penguasa yang satu-satunya dan yang penuh bahagia, Raja di
atas segala raja dan Tuan di atas segala tuan. 16.Dialah satu-satunya yang
tidak takluk kepada maut, bersemayam dalam terang yang tak terhampiri.
Seorangpun tak pernah melihat Dia dan memang manusia tidak dapat melihat Dia.
Bagi-Nyalah hormat dan kuasa yang kekal! Amin. (1 Timotius 6:15-16)
Ayat-ayat diatas tentu sejalan dengan Al-Quran. Dalam hal ini
kita umat Islam menerima bahwa itu lah yang benar dari Allah.
Memang kita tidak bisa
menyamaratakan bahwa semua informasi yang terdapat pada kitab itu salah. Tetapi
jika ditinjau dari redaksinya telah terjadi inkonsistensi pada teks-teks
tersebut telah menyebabkan banyaknya kontradiktif antara satu kisah dengan
kisah lainya. Dan Ini bukti bahwa mereka telah merubah kata-kata dari tempatnya
dan mengatakan ini dari Allah.
۞يَٰٓأَيُّهَا
ٱلرَّسُولُ لَا يَحۡزُنكَ ٱلَّذِينَ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡكُفۡرِ مِنَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ
ءَامَنَّا بِأَفۡوَٰهِهِمۡ وَلَمۡ تُؤۡمِن قُلُوبُهُمۡۛ وَمِنَ ٱلَّذِينَ هَادُواْۛ
سَمَّٰعُونَ لِلۡكَذِبِ سَمَّٰعُونَ لِقَوۡمٍ ءَاخَرِينَ لَمۡ يَأۡتُوكَۖ يُحَرِّفُونَ
ٱلۡكَلِمَ مِنۢ بَعۡدِ مَوَاضِعِهِۦۖ يَقُولُونَ إِنۡ أُوتِيتُمۡ هَٰذَا فَخُذُوهُ
وَإِن لَّمۡ تُؤۡتَوۡهُ فَٱحۡذَرُواْۚ وَمَن يُرِدِ ٱللَّهُ فِتۡنَتَهُۥ فَلَن تَمۡلِكَ
لَهُۥ مِنَ ٱللَّهِ شَيًۡٔاۚ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُرِدِ ٱللَّهُ أَن يُطَهِّرَ
قُلُوبَهُمۡۚ لَهُمۡ فِي ٱلدُّنۡيَا خِزۡيٞۖ وَلَهُمۡ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٞ
٤١
Hari Rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: "Kami telah beriman", padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (Orang-orang Yahudi itu) amat suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka merubah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. Mereka mengatakan: "Jika diberikan ini (yang sudah di rubah-rubah oleh mereka) kepada kamu, maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini maka hati-hatilah". Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar (Al Maidah:41)
Apakah kamu masih
mengharapkan mereka (Bani Israel) akan percaya kepadamu, padahal segolongan
dari mereka mendengar Firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka
memahaminya, sedang mereka mengetahui? (QS. 2:75)
Maka kecelakaan yang
besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri,
lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh
keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah
bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan
yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan. (QS. 2:79)
۞أَفَتَطۡمَعُونَ
أَن يُؤۡمِنُواْ لَكُمۡ وَقَدۡ كَانَ فَرِيقٞ مِّنۡهُمۡ يَسۡمَعُونَ كَلَٰمَ ٱللَّهِ
ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُۥ مِنۢ بَعۡدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ ٧٥
Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui? (Al-Baqoroh:75)
فَوَيۡلٞ
لِّلَّذِينَ يَكۡتُبُونَ ٱلۡكِتَٰبَ بِأَيۡدِيهِمۡ ثُمَّ يَقُولُونَ هَٰذَا مِنۡ عِندِ
ٱللَّهِ لِيَشۡتَرُواْ بِهِۦ ثَمَنٗا قَلِيلٗاۖ فَوَيۡلٞ لَّهُم مِّمَّا كَتَبَتۡ أَيۡدِيهِمۡ
وَوَيۡلٞ لَّهُم مِّمَّا يَكۡسِبُونَ ٧٩
Maka kecelakaan yAng
besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri,
lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh
keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah
bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan
yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan. (Al-Baqorah:79)
Apakah Nabi Muhammad
melihat Tuhan?
Pertanyaanya kembali
mengapa Tuhan tidak menampakan diri kepada Musa melainkan memperlihatkanya
kepada Bukit yang hancur luluh setelahnya? Ini menunjukan bahwa unsur/bahan
materi manusia tidak akan dapat melihat Zat Tuhan yang Maha sempurna. Yang
dapat menghancurkan bukit yang secara phisik jauh lebih besar dan lebih kuat
dari manusia. Maka jika Musa tidak akan mampu hukum ini juga akan berlaku bagi
manusia lainya, termasuk Muhammad, silahkan anda lihat pernyataan sang Nabi
yang berkali-kali mengatakan bahwa dirinya adalah manusia seperti kita, hanya
padanya diberi tugas mulia untuk memberikan kabar gembira kepada manusia.
Dalam hadits muttafaq
alaih, dari Masruq, ketika bertanya kepada A’isyah , ia menjawab,
سُبْحَانَ
اللهِ، لَقَدْ قَفَّ شَعْرِي مِمَّا قُلْتَ. مَنْ حَدَّثَكَ أَنَّ مُحَمَّدًا صلى الله
عليه وسلم رَأَي رَبَّهُ فَقَدْ كَذَبَ
Subhanallah,
sungguh-sungguh bulu kudukku meremang mendengar apa yang kamu katakan.
Barangsiapa yang menceritakan kepadamu bahwa Muhammad melihat RabbNya, maka
sesungguhnya ia dusta. (Riwayat gabungan dari Shahih Bukhari/Fathul Bari
XIII/361 no. 7380 dan Muslim/Syarh Nawawi, Tahqiq Khalil Ma’mun Syiha III/13
no. 440. Lihat pula Syarh Al Aqidah Ath Thahawiyah dan catatan kaki Syeikh Al
Albani t halaman 196)
Ada riwayat yang
shahih dari Ibnu Abbas tentang firman Allah ,
وَمَا
جَعَلْنَا الرُّءْيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلاَّ فِتْنَةً لِلنَّاسِ
Dan Kami tidak
menjadikan penglihatan (terhadap hal-hal) yang telah Kami perlihatkan kepadamu,
melainkan sebagai ujian bagi manusia. (QS Al Isra’ : 60).
Ibnu Abbas berkata,
“Yang dimaksudkan ialah penglihatan dengan mata kepala terhadap hal-hal yang
telah ditunjukan oleh Allah pada malam isra’.” (Shahih Bukhari/Fathul Bari
VIII/398, hadits no. 4716)
Ibnu Hajr t
menjelaskan, riwayat Ibnu Abbas tersebut tidak secara tegas menerangkan apa
yang dilihat oleh Nabi dengan mata kepala beliau. Selanjutnya Ibnu Hajar t
menjelaskan lagi, dengan menukil riwayat dari Sa’id bin Manshur dari jalan Abu
Malik, “Yang dimaksudkannya ialah segala apa yang diperlihatkan kepada Nabi
dalam perjalanannya ke Baitul Maqdis.” 5) [5) Lihat Fathul Bari VIII/398].
Riwayat ini tidak
secara tegas menerangkan, bahwa Ibnu Abbas berpendapat, Nabi melihat Allah
dengan mata kepala beliau.
Pada sisi lain,
riwayat yang menegaskan bahwa Ibnu Abbas berpendapat, Nabi melihat Allah dengan
mata kepala beliau sendiri (terdapat pada riwayat Ibnu Khuzaimah), dinyatakan
dha’if oleh Al ‘Allamah Al Albani t .6)[6) Lihat catatan kaki Syarh Al Aqidah
Ath Thahawiyah hal. 197]
Yang justeru shahih
ialah riwayat ‘Atha’ dari Ibnu Abbas c , bahwa Nabi melihat Allah dengan mata
hatinya. 7)[7) Lihat Shahih Muslim Syarh Nawawi III/8, Tahqiq Khalil Ma’mun
Syiha]
Imam Nawawi dalam
Syarh Shahih Muslim 8)[ Lihat juz III/9-10 tahqiq Khalil Ma’mun Syiha]
tampaknya cenderung memihak pada pendapat yang menyatakan, Nabi melihat Rabbnya
dengan mata kepala beliau sendiri pada malam isra’. Beliau cenderung
membenarkan riwayat Ibnu Abbas tentang Nabi melihat Allah dengan mata kepalanya
sendiri.
Sedangkan riwayat
A’isyah , menurut beliau hanya ijtihad pribadi belaka, bukan berasal dari Nabi
. Sementara Ibnu Abbas sebagai penerjemah ulung Al Qur’an, dianggapnya tidak
mungkin berbicara tanpa ada sandaran riwayat dari Nabi .
Tetapi pendapat Imam
Nawawi di atas terbantahkan dengan beberapa keterangan sebelumnya. Ibnu Abi Al
Izz, Ibnu Taimiyah maupun Ibnu Al Qayyim menguatkan pendapat, Nabi tidak
melihat Rabbnya pada malam isra’ dengan mata kepala.
Ibnu Abi Al Izz
menukil pernyataan Al Qadhi ‘Iyadh, “Sejumlah jama’ah ulama berpendapat seperti
pernyataan A’isyah , dan itulah yang masyhur dari Ibnu Mas’ud …” 9)[9) Syarh Al
Aqidah Ath Thahawiyah hal. 196]
Bahkan Imam Ibnu Al
Qayim dalam Zaad Al Ma’ad 10)[10) Juz III/33] menukil cerita Utsman bin Sa’id
Ad Darimi yang menyatakan adanya kesepakatan para sahabat, bahwa Nabi tidak
melihat Allah.
Pada kitab yang sama,
Imam Ibnu Al Qayyim t juga menukil pernyataan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah t,
“Perkataan Ibnu Abbas , bahwa Nabi melihatNya.” Begitu pula perkataannya, “Nabi
melihatNya dengan mata hatinya”, tidak bertentangan dengan ini (Nabi tidak
melihatNya dengan mata kepala). Sebab memang ada riwayat yang shahih, bahwa
Nabi bersabda,
رَأَيْتُ
رَبِّي تَبَارَكَ وَتَعَالَي
Aku melihat Rabbku
Tabaraka wa Ta’ala (Hadits yang merupakan cuplikan dari hadits shahih yang
panjang riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Ibnu Abbas, juga dari Mu’adz bin Jabal.
11)[11) Lihat Zaad Al Ma’ad, catatan kaki Syu’aib dan Abdul Qadir al-Arna’uth
III/33-34]
Tetapi hal itu terjadi
di luar isra’. Yaitu pada suatu hari di Madinah, ketika beliau terlambat
mengimami shalat subuh. Lalu beliau menceritakan kepada mereka, bahwa pada
malam harinya beliau bermimpi melihat Allah . Dari sanalah Imam Ahmad kemudian
mengatakan, “Ya, Nabi memang benar-benar pernah melihat Allah. Sebab mimpi para
nabi pasti benar.” Namun Imam Ahmad tidak pernah mengatakan, “Sesungguhnya Nabi
melihat Allah dengan mata kepala beliau dalam keadaan bangun…” 12)[12) Lihat
Zaad Al Ma’ad, Tahqiq Syu’aib dan Abdul Qadir Al Arna’uth III/33-34 dengan
ringkas dan bahasa bebas]
Artinya, bisa saja
maksud Ibnu Abbas -jika riwayat itu benar-, bahwa Nabi melihat Allah dalam
keadaan mimpi.
Dari pemaparan di atas
dapat disimpulkan, pendapat yang kuat, bahwasannya Nabi tidak melihat Rabbnya pada
malam isra’ dengan mata kepala beliau.
Apalagi ternyata
terdapat riwayat shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan sanadnya,
sesungguhnya Abu Dzar pernah bertanya kepada Rasulullah . Beliau menjawab,
نُوْرٌ
أَنَّى أَرَاهُ؟
Hanya cahaya.
Bagaimana mungkin aku dapat melihat Allah?. 13)[13) Syarh Nawawi tahqiq Khalil
Ma’mun Syiha III/15 no.442 dan juga no. 443]
Jadi yang beliau lihat
hanyalah cahaya yang menghalangi antara dirinya dengan Allah . Wallahu a’lam
Mungkin ada beberapa
pendapat yang mengklaim sebaliknya menggunakan dalil hadist tetapi itu akan
berarti kontradiktif. Apa artinya? Mari kita kaji permasalahan ini dengan
teliti. Keyakinan yang paling utama dalam hal ini adalah bahwa kita yakin nabi
bukanlah seorang pendusta. Jadi tidak mungkin ia mengatakan kepada si A bahwa
ia melihat Tuhan dengan mata dan Mengatakan kepada si B bahwa ia tidak melihat
Tuhan secara kasat mata. Orang bisa saja memelintir hal ini dengan permainan
kata-kata yang pada akhirnya tidak memiliki makna dengan mengatakan bahwa si B
belum siap mendengarkan hal tersebut atau si B belum mencapai tingkatan kepada
hal tersebut. Jelas nabi tidak akan berkata sesuatu kepada orang yang memang
tidak siap untuk menerima sesuatu. Ajaran Islam bukan suatu hal yang pelik dan
berbelit-belit seperti keyakinan bahwa yesus adalah 100% manusia dan 100% Tuhan
atau teori-terori janggal tentung satu dalam tiga atau tiga dalam satu. Dalam
Islam tidak ada teori-teori dan permainan kata sebagai pembenaran. Inilah islam
tetapi manusianya yang membuat berbelit-belit dan bahkan membuat
tingkatan-tingkatan berdasarkan klaim telah mengenal Allah lebih dekat dan
dapat menyatu dengan Allah (wahdatul Wujud). Maha suci Allah dari apa yang
mereka klaim.
Kembali kepada hadist,
maka kita akan membuat konklusi bahwa jika ada lebih dari satu hadist yang
saling bertentangan, maka hanya satu yang pasti benar tetapi bisa saja justru
semuanya tidak benar. Hal yang terjadi pada kitab perjanjian lama (baca
kumpulan kitab-kitab yang diklaim wahyu Tuhan dari para nabi Israel) tampaknya
juga terjadi dengan hadist. Kita memahami kondisi bahwa penulisan dan
pengumpulan hadist berbeda dengan penulisan Al-Quran dimana Allah SWT secara
langsung menjaganya dari ketidak mustshilan, inkonsistensi ataupun kontradiktif
bahkan Al-Quran menantang kita jika dirinya tidak berasal dari Allah maka kamu
akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya (kontradiktif). Fakta munculnya
hadist-hadist palsu juga merupakan pertimbangan betapa kita harus lebih kritis
memahami dan memaknai hadist.
Tentu saja kita tidak
menyamaratakan semua hadist kontradiktif dan tidak perlu dijadikan referensi,
tetapi kita boleh menggugurkanya ketika ia bertentangan dengan Al-Quran dan
bukti-bukti ilmiah (sesuai kaedah ilmu dan akal) meskipun sebelumnya hadist
tersebut dikatan shahih sekalipun.
Saya tidak akan
membahas panjang lebar tentang perbedaan pendapat ini. Tetapi dalam hal ini
saya berusaha memegang dalil yang kuat yaitu Al-Quran. Jika kita telaah, tak
satu katapun yang menceritakan bahwa saat itu Adam, hawa dan iblis berkata-kata
sambil melihat Allah seperti kita yang tengah berkominikasi dengan Atasan kita.
Al-Quran memang menjelaskan tentang pembicaraan mereka kepada Allah. Tetapi ini
bukanlah sebuah bukti bahwa mereka melihat Allah dengan mata mereka. Berkata
langsung kepada Allah tidak pernah memiliki pengertian bahwa mereka melihat
Allah. Sama seperti iblis, Nabi musa diyakini dapat berkata-kata langsung
kepada Allah, tetapi ketika ia meminta Allah memperlihatkan dirinya, maka Allah
memperingatkanya dengan kisah yang telah kita bahas di atas. No Way Musa.
Lantas bagaimana
mungkin jika ada seseorang yang dengan tingkatan tertentu dikatakan mampu
memperlihatkan orang lain akan wujud Tuhan seperti pernyataan teman saya itu?
Maksud teman saya ini orang yang dapat melihat Tuhan itu dapat memperlihatkan
Tuhan kepada orang lain sebagai pembuktian adanya Tuhan. Wah bagus juga tuh
kalau memang bener, mungkin semua orang kafir ini jadi beriman setelah
diperlihatkan. Lantas mengapa orang-orang yang mampu melihat Tuhan ini tidak
memperlihatkan saja kepada pejabat kita yang korup biar mereka sadar atau
binasa seperti bukit tursina? Bukankah berbuat untuk menyelamatkan manusia
lainya dari penindasan pihak-pihak yang zalim adalah sebuah Jihad ?
Mungkin teman saya
bisa bertanya kepada orang yang dikatakan bisa melihat wujud (zat) Tuhan itu
dan meminta seperti apa ciri-cirinya. Lantas bagaimana kita yakin yang kita
lihat itu adalah Tuhan bukan jin atau setan ? Tetapi yang terlebih penting jika
ada yang pernah melihat tuhan berarti dia tau wujud tuhan dan sekali lagi ini
akan bertentangan dengan Al-Quran, bahwa tak sesuatupun yang setara denganya
(Tidak bisa digambarkan dengan apapun termasuk kata-kata).
Bagi saya cukup sudah
bahwa keberadaan tuhan itu dibuktikan dengan akal dan ilmu pengetahuan yang
terus membuktikan kebenaran NYA. Bukankah Al-Quran menyeru kepada kita untuk
membuktikan keberadaaNYA melalui ciptaan-NYA ? Ilmunya ? termasuk penciptaan
diri kita wahai kawan ?
Wallahualam bisawab
0 comments:
Post a Comment