Empat golongan orang yang puasanya tertolak



Puji Syukur atas diberikanya panjang umur sehingga untuk yang kesekian kalinya kita diberikan kesempatan untuk mengikuti ramadhan yang didalamnya terdafat faedah dan manfaat bagi siapa saja yang mengharap pahala dan ampunan Allah azza wa jalla.

Semoga keselamatan dan kedamaian Allah curahkan kepada nabi Muhammad SAW, keluarga dan sahabat yang mulia, serta penerus risalahnya hingga hari akhir nanti.

Sesungguhnya setiap ibadah mempunyai dua potensi yang selalu beriringan satu sama lainnya. Satu sisi sebuah ibadah mungkin akan menjadi ladang pahala kita yang akan kita panen di  kampung akhirat nanti. Tapi sisi lain, jika kita tidak memenuhi syarat, adab dan rukunnya bisa jadi sebuah ibadah justru menjadi fitnah bagi kita di hari akhir nanti. Naudzu billah min dzalik. Contoh yang paling jelas dalam masalah ini terdapat dalam sebuah ayat yang sudah sama-sama kita hafal bersama. 

Dalam surat Al-Maun disebutkan ancaman Allah SWT kepada orang-orang yang shalat. Allah berfirman dalam kitabnya yang mulia:

 “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya”. (QS Al Maun 4-5)

Pertama :
Orang yang berpuasa tanpa keiklashan. Puasanya hanya rutinitas tahunan, bahkan kadang-kadang merasa terlalu cepat dan belum siap menghadapi ramadhan. Ada yang merasa ramadhan adalah beban tersendiri karena merasa belum siap mengingat kondisi ekonomi yang murat-marit.  Atau ada yang merasa kurang siap karena adanya aktifitas-aktifitas yang terganggu sehingga rasanya ingin sekali ramadhan ini cepat berakhir. Jika demikian, kemudian puasanya hambar dan selalu menghitung hari. Ttidak ada kegembiraan melakukan ibadah-ibadah yang sebenarnya Allah  dan Rasulnya menginginkan kita melakukanya dosa-dosa kita lebur dan sebaliknya mendapat pahala berlipat ganda yg tidak ada dibulan-bulan lain. 
Semoga kita disini bukan termasuk golongan ini. Untuk itu, bagi yang merasa niatnya bukan karena ikhlas, mumpung masih ada kesempatan, mari kita perbaiki niat  kita agar Ramadhan ini kita jalani bukan karena ini adalah rutinitas atau formalitas agama atau bahkan sesuatu yang menghambat kita.  Bahkan Allah azza wajalla memanjangkan umur kita yang untuk kesekian kalinya diberi kesampatan untuk mendapatkan manfaat Ramadhan dikarenakan begitu besar kasih sayang nya kepada kita. Entahlah, apakah kita akan diberi kesempatan lagi pada ramadhan berikutnya. Allahu a’lam.
Untuk itu mari kita luruskan niat.
 “Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.”  (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760).
Sesungguhnya setiap amal bergantung pada niatnya. ( HR Muttafaqi Alaih). 
Jadi kalau niat nya hanya formalitas, maka in syaa Allah hanya mendapat lapar dan dahaga.  


“Marhabban yaa ramadhan”. 

Meski kita sudah berada dibulan ramadhan, mungkin tidak terlambat jika kita katakan Marhabban yaa Ramadhan”
Orang yang iklas berpuasa adalah orang yang dadanya lapang tanpa sekat menyambut ramadhan. Makanya ungkapanya adalah “Marhabban yaa Ramadhan....” yang maknanya menyambut Ramadhan dengan perasaan luas dan lapang. Bagai kita mengharapkan seorang tampu yang mulia yang kedatanganya sangat kita inginkan dan butuhkan karena akan bermanfaat bagi kita. Wahai Ramadhan, aku telah melapangkan hatiku untuk iklas berpuasa, shalat malam, membaca, menghafal dan mentadaburi Al-Quran dan apapun perbuatan-perbuatan baik yang dianjurkan didalamnya, karena aku tau bahwa aku membutuhkanya. 

Akar kata “Marhabban”  adalah “rohaba” yang artinya “Luas”, “Lapang” dan kegiatan menyiapkan agar sesuatu itu menjadi lapang adalah “tahrib”. Makanya makna ini sering diartikan secara formal sebagai tahriban, acara makan-makan dan berkumpul sebelum puasa, padahal arti kata itu sesunguhnya usaha bagi masing-masing diri untuk menyiapkan agar kita merasa lapang menyambut ramadhan yaitu dengan memahami makna ramadhan dan faedahnya bagi kita. Tak kenal maka tak sayang. Sesungguhnya jika kita mengetahui faedah ramadhan maka kita akan menyambutnya dengan sangat senang dan lapang sehingga kita mengungkapkan dengan kata “Marhabban Yaa Ramadhan”.

Kedua :
Yang kedua adalah mereka yang berpuasa tanpa ilmu. Tidak mengetahui mana yang membatalkan dan mana yang tidak. Maka mereka menjalani puasa tanpa aturan atau memahami tidak dengan sepenuhnya benar. Akibatnya puasa mereka menjadi begitu rapuh dan tanpa makna. Menyangka telah melakukan hal yang benar padahal sejatinya salah.
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah SAW bersabda:
“Seorang faqih (ahli ilmu agama) lebih ditakuti syetan  dari pada seribu ahli ibadah (tanpa ilmu)“. (HR Ibnu Majah). 


Ketiga :
Golongan orang berpuasa yang celaka ketiga adalah mereka yang berpuasa hanya dari makan dan minum semata dan merasa bahwa dengan itu mereka sudah  memenuhi semua ketentuan dan tuntutan puasa. Barangkali kita perlu mengingat lebih dalam himbauan rasulullah SAW berkaitan dalam masalah ini:  “Barang siapa yang tidak meninggalkan berkata dusta dan beramal kedustaan, maka Allah SWT tidak membutuhkan dia meninggalkan makan dan minumnya”. (HR Bukhori)  
Mereka dalam masalah ini berpuasa tetapi tidak mampu menundukkan nafsu dan emosinya. Maka mereka menodai siang hari ramadan dengan lisan yang tak terjaga dari ghibah, marah  dan berkata dusta, atau anggota badan yang tidak terjaga dari dosa dan kemaksiatan.

keempat :
adalah mereka yang menjalankan ibadah puasa dengan penuh kemalasan, dalam  arti tidak menyadari kemuliaan bulan Ramadan yang bertaburan berkah. Mereka tidak menyadari dan memahami bahwa ramadan bukan hanya bulan puasa saja tetapi lebih dari itu ia adalah bulan musim kebaikan yang disyariatkan banyak amal kebaikan.
Rasulullah SAW  bersabda tentang bulan mulia ini: “(Bulan dimana) dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu  neraka, syetan-syetan dibelenggu. Dan berserulah malaikat: wahai pencari kebaikan, sambutlah. Wahai pencari kejahatan "berhentilah” (demikian) sampai berakhirnya ramadan. (HR Ahmad)
Golongan ini berpuasa tetapi tidak menjalankan tarawih, tilawah dan tadarus. Tidak pula berusaha untuk bersedakah, memberi berbuka pada orang yang berpuasa. Atau tidak pula menyempatkan diri untuk i’tikaf dan amal kebaikan secara umum. Mereka hanya berpuasa dan menjadikan puasa sebagai alasan untuk bermalas-malasan di siang hari, lalu makan pestapora di malam hari.  

Maka marilah meningkatkan kualitas ibadah puasa kita dengan memahami sepenuhnya hukum-hukum seputarnya. Mari terus membaca, mengkaji dan bertanya agar bisa menjalankan seluruh rangkaian ibadahnya dengan keyakinan yang nyaris sempurna.  

0 comments:

Post a Comment