Kapan Lebaran Bersama


Penentuan awal bulan (bulan baru) ditandai dengan terlihatnya wujud bulan seperti sabit untuk pertama kali setelah proses konjungsi atau ijtimak. Ijtimak sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti berkumpul. Dalam hal ini yang dimaksud Ijtimak adalah peristiwa dimana Bumi, Bulan dan Matahari berada sejajar dalam garis meridian yang sama. Ijtimak terjadi setiap 29,531 hari sekali, atau disebut pula satu bulan sinodis. Setiap siklus 30 tahun pada sistem penanggalan Hijriyah, maka 11 tahun dijadikan tahun kabisat (dimana pada tahun kabisat ini bulan Dzulhijjah dijadikan 30 hari) sehingga jumlah hari dalam satu tahunnya berjumlah 355 hari. Sistem penanggalan ini juga memiliki 11 hari yang lebih cepat dari kalender Masehi, hal ini karena sistem tersebut menggunakan siklus sinodis bulan. Satu kali putaran sinodis dari bulan adalah 29.530588 hari atau tepatnya lagi adalah selama 29 hari 12 jam 44 menit 03 detik. 

Siklus sinodis bulan bervariasi. Usia bulan yang mencapai 30 hari bersesuaian dengan terjadinya bulan baru (terbitnya hilal) di titik apooge, yaitu jarak terjauh antara bulan dan bumi dimana pada saat yang bersamaan bumi justru berada pada jarak terdekatnya dengan matahari (Perihelion). Sebaliknya, satu bulan yang berlangsung 29 hari adalah tepat saat terjadinya bulan baru di perige (jarak terdekat bulan dengan bumi) dengan bumi berada di titik terjauhnya dari matahari (aphelion). Karena itulah seperti yang sudah kita singgung tadi bila hari-hari dalam satu bulan Hijriyah selalu berubah-ubah (29 – 30 hari). Semua ini menyusaikan dengan kedudukan Bulan, Bumi dan Matahari. Akibat dari peredaran bulan mengelilingi bumi maka permukaan bulan yang bercahaya kelihatan berubah dari hari ke hari dari bentuk sabit yang sangat halus bertambah menjadi lebih besar hingga menjadi purnama dan kembali tampak mengecil menjadi seperti sabit halus lagi


Bila pada sistem Kalender Masehi yang menganut Solar Year (penanggalan berbasis matahari) sebuah hari dan tanggal baru dimulai pada pukul 00.00 waktu setempat, namun pada sistem Kalender Hijriyah yang menganut Lunar Year (penanggalan berbasis bulan) sebuah hari dan tanggal dimulai ketika terbenamnya matahari di tempat tersebut (kurang lebih sekitar pukul 18:00). Pada saat terjadinya ijtimak, bulan tidak dapat terlihat dari bumi, karena permukaan bulan yang nampak dari bumi tidak mendapatkan sinar matahari. Dengan terbenamnya bulan sesaat sesudah terbenamnya matahari dalam penglihatan dibumi dikenallah istilah Bulan Baru. Sebagai konsekwensi maka keesokan harinya sudah harus dinyatakan sebagai awal tanggal pertama bulan Hijriyah berikutnya.

Berdasar kriteria inipula sejumlah organisasi massa Islam di Indonesia dan juga dunia menetapkan sistem penanggalan Hijriyah. Konsepsi ini dikenal pula dengan istilah Wujudul Hilal (ijtimak qoblal qurub). Melalui pembelajaran yang mendalam tentang perjalanan bulan ini maka kita sebenarnya sudah dapat menyusun kalender Hijriyah termasuk penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk tahun-tahun yang akan datang. Hal ini menjadi praktis tanpa harus melakukan proses rukyat atau melihat fisik bulan secara langsung dengan mata lahiriah manusia.

Kontroversi yang seringkali muncul kepermukaan adalah menyangkut kedudukan bulan setelah ia mengalami Ijtimaknya. Beberapa ulama seperti Ash-Shabuni dalam kitab tafsirnya “Shafwatut Tafasir” dan Sayyid Quthub melalui “Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an” mengulas surah Al-Baqarah ayat 189 tadi sebagai penampakan bulan sabit dari bumi oleh manusia. Artinya keadaan bulan itu harus benar-benar bisa dilihat dengan jelas sehingga tidak menimbulkan keragu-raguan. Apabila bulan baru itu tidak bisa dilihat atau menimbulkan keraguan maka jumlah bulan yang sebelumnya harus digenapkan menjadi 30. Pemahaman seperti ini selanjutnya menuntun kepada konsepsi penglihatan bulan sabit setelah ijtimak harus secara lahiriah atau rukyat bil fi’li.

Meski demikian, bisa tidaknya hilal tersebut dilihat atau diamati secara visual akan sangat bergantung pada waktu dan tempat pengamatan itu sendiri. Kebergantungan terhadap waktu adalah terkait dengan saat terbenamnya matahari dan kemunculan hilal serta usia dari hilal tersebut, yaitu adanya selang waktu penampakan hilal dari saat ijtimak. Selang waktu ini akan berakibat pendaran iluminasi dari cahaya Bulan tidak cukup kuat teramati karena dia masih terlalu suram dibandingkan pendaran cahaya matahari yang baru terbenam. Sedangkan kebergantungan terhadap tempat sangat erat kaitannya dengan posisi geografis orang yang melihatnya dibumi. Selain itu kendala cuaca dan awan juga ikut menentukan penampakan secara langsung. Beranjak dari sini maka timbullah kriteria tentang derajat bulan tertentu agar ia bisa tetap dapat dirukyat secara visual oleh manusia dibumi dari beberapa tempat yang berbeda.

Dengan tidak mengurangi penghormatan kita terhadap orang-orang yang memegang teguh pandangan diatas, maka sebenarnya apa yang dimaksud dengan melihat bulan sabit setelah ijtimak terjadi sehingga menghasilkan kepastian dan kejelasan mengenainya memiliki maksud untuk membuktikan sudah masuknya bulan baru atau syahida asy-syahr. Secara keilmuan, khususnya Astronomi modern yang sudah sampai pada taraf sedemikian majunya seperti jaman kita sekarang ini hal tersebut jelas-jelas bisa dilakukan tanpa kita harus melakukan rukyat secara lahiriah. Dengan kata lain maka kita bisa merukyat bil’ilmi atau bil’aqli. Tindakan ini tidak harus disikapi secara frontal sedemikian rupa sehingga seolah-olah kita maupun orang-orang lain yang melakukannya telah keluar dari garis ketentuan agama, hanya karena perbuatan ini tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw.

Sabda-sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkaitan dengan penentuan bulan baru pada masanya yang merujuk pada visualisasi secara lahiriah bila kita lihat secara jujur dan pikiran terbuka (open minded) sama sekali tidak bertentangan dengan penetapan untuk hal yang sama dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan hasil kemajuan teknologi modern.


Bagaimana bisa kita berpendapat seperti itu, maka inilah argumentasi kita :

Nabi Muhammad Saw bersabda, “Sesungguhnya kami ini segolongan umat yang ummi, kami tidak pandai menulis dan tidak bisa menghitung, sebulan itu ada yang begini dan begini, yaitu kadang-kadang 29 hari dan kadang-kadang 30 hari”. (HR. Bukhari, Muslim dan lain-lain)

Hadis diatas bisa kita lihat sebagai sebuah pengakuan yang jujur dari pribadi Nabi Muhammad Saw mengenai status peradaban umatnya saat itu. Dimana mereka disebutkan tidak pandai dalam hal ilmu pengetahuan (termasuk baca, tulis dan menghitung). Jadi, jika ternyata umat beliau sekarang ini sudah lebih pandai dalam hal tersebut ketimbang umat dimasa lalu, maka seyogyanyalah kepandaian ini dipergunakan dalam kerangka menetapkan apa-apa yang sebelumnya sering menjadi keraguan akibat keterbatasan yang ada. Hadis tersebut menjadi parameter lain untuk kita bila Nabi Muhammad Saw secara tidak langsung mengakui adanya metode lain diluar dari apa yang biasa beliau dan umatnya gunakan untuk penentuan bulan baru. Memang tidak menutup kemungkinan bahwa dimasa Nabi Saw hidup, ada orang-orang tertentu yang bisa melakukan proses penghitungan bulan atau merukyat bil’ilmi, akan tetapi karena cara dan bentuk kepastian dari metode ini belum bisa disebut akurat akibat keterbatasan kondisi peradaban dimasa itu maka Nabi Saw belum menggunakan metode seperti ini.

Masalah ini erat kaitannya dengan situasi dan kondisi masyarakat pada waktu itu, yakni mereka pada umumnya tidak dapat menulis dan menghitung. Ini berarti jika kondisi yang disebutkan dalam hadits tersebut tidak ditemukan lagi, maka tidak ada keharusan melakukan rukyat dan sebagai alternatifnya adalah kebolehan melakukan hisab. Jadi, ke-ummi-an umat merupakan ‘illat dari perintah ditetapkannya rukyat. Dengan demikian, yang menjadi al-ashl adalah rukyat yang secara jelas telah ditetapkan oleh nash hadis. Kemudian obyek yang akan ditentukan hukumnya adalah status hisab, karena penetapan hisab secara eksplisit memang tidak ditegaskan oleh nash hadis tersebut. Oleh karena itu, hisab berposisi sebagai al-far’u dalam kasus ini. Sedangkan yang menjadi hukm al-ashl adalah keharusan melakukan rukyat dalam menentukan bulan baru. Lebih jauh mungkin perlu dipertegas juga bahwa ‘illat (sebab) selalu berjalan bersama ma’lul (musabab) dalam keberadaannya maupun ketiadaannya. Hal ini berarti untuk kasus kita diatas, apabila umat Islam telah keluar dari kondisinya yang ummi dan telah mampu menulis dan berhitung, maka dangan sendirinya hisab dapat diberlakukan. Disini saya juga akan mengutip dari bukunya Buya Hamka “Pandangan Hidup Muslim” terbitan Bulan Bintang Djakarta 1966 halaman 142 :


“Kalau misalnya hiduplah Nabi kita Muhammad Saw dijaman kita ini, agaknya akan beliau suruhkanlah Bilal bin Rabah melakukan azan dengan memakai loadspeaker dan mikrofon. Akan beliau suruhkan agaknya Mu’az bin Djabal menyebarkan Islam kenegeri Yaman, bahkan keseluruh dunia dengan memakai radio”.

Penulis sependapat dengan almarhum Buya Hamka tersebut, bahkan mungkin Nabi Saw pun akan melakukan dakwah beliau dengan memanfaatkan email, milis, handphone, chat, telekonfrens, buku, brosur dan sebagainya sesuai bentuk-bentuk penyampaian informasi yang sudah kita kuasai dijaman sekarang. Hal ini selaras pula dengan apa yang disampaikan oleh Bapak M. Hasbi Ash Shiddieqy dalam bukunya “Pedoman Puasa”, terbitan Bulan Bintang Djakarta 1960 halaman 53 :


“Perintah berpuasa sesudah melihat bulan dengan mata kepala adalah : Lil Irsyad bukan Lil Idjab yaitu melihat bulan dengan mata kepala hanyalah salah satu jalan memulai puasa tetapi bukan satu-satunya jalan. Ini hanya jalan yang ditempuh oleh umat yang belum pandai berhisab. Karenanya sangat menggelikan hati kalau orang berpuasa yang fanatik kepada lahir perintah, terus menetapkan bahwa dialah (rukyat bil fi’li) satu-satunya jalan buat memulai puasa”.


Didalam hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim serta Imam Ahmad yang bersumber kepada Ibnu Umar disebutkan bila Nabi Saw bersabda, “Sebenarnya bulan itu dua puluh sembilan hari, maka janganlah kamu berpuasa sampai kamu melihat bulan dan janganlah kamu berbuka sampai kamu melihatnya. Jika mendung, “kadarkanlah” olehmu atasnya (Fa in ghumma ‘alaykum faqdurulah)”.


Imam Nawawi (1983, juz 7, hal. 190) mengatakan bila umumnya hadis-hadis tersebut diatas membagi pemahaman tentang perlunya melihat hilal (bulan sabit) bagi orang yang akan berpuasa maupun mengakhirinya (yaitu berhari raya). Adapun menyangkut bilangan bulan yang disebut didalam hadis, yakni 29 hari, ini menurutnya berlaku dalam kondisi cuaca yang baik. Sementara dalam kondisi yang tidak baik karena tidak memungkinkan melihat hilal, maka tetap saja puasanya harus disempurnakan menjadi tiga puluh hari. M. Hasbi Ash Shiddieqy masih dalam buku yang sama (hal. 49) menyatakan bahwa ulama berbeda pendapat dalam mengartikan perkataan faqdiru atau “perkirakanlah”. Jumhur ulama dari madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa artinya sempurnakan menjadi 30 hari sebagaimana riwayat dalam hadis lain dari Muslim yang berbunyi “Faqduru lahu tsalatsina” atau “kadarkanlah untuknya 30 hari”, sementara yang lainnya berpendapat pergunakanlah hisab. Menurut Ibn Suraij, Muthrab Ibn Abdillah, Ibnu Qutaibah dan lain-lain sebagainya, maksud dari kata tersebut adalah mereka mengukurnya dengan suatu hitungan yang berdasar manzilah-manzilah (lintasan orbitnya). Istilah faqdiru sendiri bisa diartikan sebagai ukuran sesuatu. Kata ini memiliki makna yang sama dengan kata taqdir, yang merupakan derivasi dari kata kerja qaddara yang artinya menetapkan batas atau kadar tertentu. Arti seperti ini dapat dijumpai dalam al-Qur’an surat al-Mursalat ayat 23, dalam konteks penciptaan manusia, yaitu: “Lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan”

Selaras dengan ini, penulis pada kesempatan ini ingin merujuk pada salah satu firman Allah : “Wahai masyarakat Jin dan Manusia, jika kalian sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, silahkan lintasi, tapi kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan sulthon”. (QS AR-Rahman (55) :33)

Istilah “sulthon” bisa diterjemahkan sebagai kekuatan, dan dalam hal ini merujuk pada kekuatan akal, yaitu bagaimana memaksimalkan kemampuan akal yang ada untuk mampu menciptakan peradaban yang cerdas, berilmu pengetahuan tinggi sehingga memungkinkan untuk mengeksplorasi seluruh alam semesta ini untuk kemaslahatan hidup selaku Khalifah Tuhan dibumi. Kita maklum bila ilmu hisab atau ilmu Astronomi, merupakan salah satu masterpiece manusia yang tentu saja bisa digunakan untuk berbagai tujuan termasuk menentukan perhitungan waktu atau penanggalan sebagaimana di-isyaratkan oleh ayat-ayat yang sudah banyak kita kutipkan dibagian atas sebelum ini. Karena itulah kita akan kembali kepada konsep Iqra, konsep membaca, baca dan bacalah terus. Analisa dan teruslah menganalisa, temukanlah, manfaatkanlah semua potensi yang ada dalam diri ini. Tidak heran bila ayat ini justru yang turun pertama kepada Rasulullah Saw.

Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia ciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah karena Tuhanmu itu sangat mulia Yang mengajar dengan Qalam. Dia mengajar manusia apa yang mereka tidak tahu
(QS AL-Alaq (96) : 1 s/d 5)

Perintah berpikir adalah perintah Allah dalam al-Qur’an, salah satunya silahkan lihat kembali akhir surah Yuunus ayat 5 : “Liqowmi ya’lamun” yang artinya, “Dia menjelaskan ayat-ayatNya bagi kaum yang mau mengetahui”. Ayat tersebut berlaku secara menyeluruh tanpa terkecuali, entah itu dalam aspek kehidupan beragama maupun bermasyarakat. Akal diberikan oleh Allah untuk berpikir, membedakan mana yang salah dan mana yang benar. Tanpa akal, manusia tidak lebih dari sekedar hewan yang tidak pernah memikirkan benar salah tindakannya bahkan mungkin jauh lebih sesat daripada itu.

Allah telah mengutus para Nabi dan Rasul kedunia untuk memberikan petunjuk kepada manusia agar memilih jalan kebenaran, dan petunjuk Allah itu hanya bisa diterima oleh orang-orang yang mau untuk berpikir tentang hakikat kebenaran sejati. Dan berpikir yang benar didalam penerimaan tersebut adalah berpikir yang tidak hanya merenung atau asal-asalan, namun berusaha untuk mengerti, mempelajari, menyelidiki, memahami serta mengamalkan dan alat untuk itu semua adalah akal. Menisbikan peranan akal pikiran untuk menggapai keimanan sama sekali tidak layak kita terapkan, sebab hal ini akan menyamakan kedudukan kita dengan para penyembah berhala yang tidak pernah mau tahu tentang benar salahnya keimanan mereka, yang jelas mereka harus menerima dan yakin. Jika sudah begini untuk apa wahyu diturunkan ? Untuk apa para Nabi dan Rasul diutus ? Untuk apa Tuhan menciptakan manusia ? Untuk apa Tuhan melimpahkan akal ? serta untuk apa Tuhan menjadikan kebenaran dan kebatilan ?

Menyangkut berbuka puasa pada setiap harinya, orang diberi tuntunan supaya melihat tanda tenggelamnya matahari, dan waktu imsak sehabis makan sahur orang supaya melihat terbitnya fajar sebagaimana dinyatakan dengan jelas didalam al-Qur’an pada surah Al-Baqarah ayat 187, “Wakuluu wa(i)syrabuu hattaa yatabayyana lakumu (a)lkhaythu (a)l-abyadhu mina (a)lkhaythi (a)l-aswadi mina (a)lfajri … dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”.

Nyatanya, dijaman kita sekarang ini hampir bisa dipastikan bila semua orang Islam telah menunaikan sholatnya tidak lagi melihat kedudukan matahari begitupun mengakhiri waktu sahurnya berdasarkan jadwal yang telah ada dan dicetak melalui brosur, surat kabar, papan pengumuman dan lain sebagainya yang semua itu merupakan hasil perhisaban. Mari bersama ini, penulis mengajak setiap diri, khususnya yang mengharamkan hisab agar melakukan introspeksi. Masihkah diri kita mengikuti tuntunan Allah dan Nabi seperti yang kita sampaikan itu ? Orang dijaman sekarang sudah lebih banyak mengikuti keputusan atau penetapan ahli hisab dimana mereka mengatur ketentuan waktu sholat, waktu berbuka dan berimsak setiap hari melalui jam, jadwal, program komputer semacam “shollu” dan sebagainya. Oleh karena itu, jika diantara kita masih banyak yang bersikeras bahwa penetapan untuk awal puasa dan awal syawal harus dengan ru’yat bil fi’li alias melihat visual bulan secara langsung, maka penulis mengusulkan hendaknya mereka dalam mengerjakan sholat yang lima waktu setiap hari atau berbuka puasa dan berimsak harus benar-benar melihat matahari dan sebagainya sebagaimana diterangkan sebelumnya sebagai hal yang dicontohkan dan diperintahkan oleh Nabi. Ini agar kita tidak pincang dalam berpikir dan konsisten dengan apa yang dipermasalahkan.

Allah berfirman dalam al-Qur’an, “Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, serta matahari dan bulan untuk perhitungan (wa(al)sysyamsa wa(a)lqamara husbaanan). Itulah ketentuan Yang Maha Perkasa dan Maha Mengetahui.” (QS AL-An’am (6) :96)


Ayat diatas diperkuat oleh ayat berikut :

huwa (al)ladzii ja’ala (al)sysyamsa dhiyaa-an wa(a)lqamara nuuran waqaddarahu manaazila lita’lamuu ‘adada (al)ssiniina wa(a)lhisaaba maa khalaqa (al)laahu dzaalika illaa bi(a)lhaqqi yufashshilu (a)l-aayaati liqawmin ya’lamuun(a)

Terjemahnya : Dia-lah yang menjadikan matahari terang dan bulan bercahaya dan Dia menentukan orbitnya agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan. Tidaklah Allah menjadikan semua itu melainkan dengan haq, Dia menjelaskan tanda-tandaNya bagi kaum yang mau mengetahui (QS Yuunus (10) : 5)

Bila kita perhatikan kedua ayat diatas, maka bisa kila lihat dengan jelas bahwa Surah al-An’am ayat 96 menggunakan lafadz “Qomar” dalam menyebutkan bulan sebagai pasangan dari matahari demikian juga halnya dengan surah Yunus ayat 5 juga menggunakan kata yang sama. Ini semua tidak bisa kita pungkiri bahwa istilah Qomar tersebut sebagaimana pernah kita jelaskan diawal Bab 3 ini lebih merujuk pada penyifatan secara phisik, yaitu bulan selaku satelit bumi dan bukan bulan dalam pengertian diluarnya. Dibuktikan pula dengan adanya kata ditentukan orbit atau manzilah dari bulan tersebut sehingga membuat kita memang harus terbakukan dengan pengertian tersebut.

Saat Allah menyatakan keduanya (yaitu matahari dan bulan, – wa(al)sysyamsa wa(a)lqamara) bisa digunakan sebagai penentu bilangan tahun dan perhitungan, disini kitapun mau atau tidak mau harus mengartikannya kepada maksud sebagai dasar bagi perhitungan kalender atau penanggalan sebagai penunjuk waktu bagi manusia. Artinya lagi dalam menentukan penanggalan (khususnya disini menyangkut penanggalan Hijriyah), maka kita harus merujuk pada perjalanan bulan mengelilingi bumi sejauh 331 derajat 5, selama 29 hari 12 jam 44,04 menit 3 detik (lihat lagi pembahasan yang sudah-sudah).

Dari arti harfiah kedua ayat ini, kita harusnya sudah bisa berkesimpulan bahwa metode hisab atau secara Astronomis justru mendapat penekanan dalam mengambil keputusan untuk penentuan waktu dalam kehidupan manusia. Sekarang kita beranjak lagi pada surah al-Baqarah yang memaparkan perintah berpuasa :

Bulan Ramadhan, yang bulan yang di dalamnya diturunkan al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir/membuktikan di bulan itu (faman syahida minkumu (al)sysyahra), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut… (QS AL-Baqarah (2) :185)


Ayat ini menggunakan istilah “syahru ramadaana” untuk merujuk kepada bulan Ramadhan, dia tidak menggunakan lafadz Hilal atau Qomar (dalam bahasa Inggris disebut Moon). Bila kita menilik lebih jauh pada surah al-Qur’an lainnya yang berbicara mengenai istilah sepadan seperti yang ada pada surah An-Nisaa ayat 92, At-Taubah ayat 36, Al-Ahqaaf ayat 15 maka diperoleh data bahwa yang dimaksudkan dari kata Syahra adalah bulan dalam makna perhitungan (dalam bahasa inggris disebut Month).


inna ‘iddata (al)sysyuhuuri ‘inda (al)laahi itsnaa ‘asyara syahran fii kitaabi (al)laahi yawma khalaqa (al)ssamaawaati wa(a)l-ardha

Terjemah : Sesungguhnya bulan disisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah diwaktu Dia menciptakan langit dan bumi (QS AT-Taubah (9) :36)


wawashshaynaa (a)l-insaana biwaalidayhi ihsaanan hamalat-hu ummuhu kurhan wawadha’at-hu kurhan wahamluhu wafishaaluhu tsalaatsuuna syahran

Terjemah : Kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada ibu-bapaknya, ibunya sudah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya pula dengan susah payah, mengandungnya sampai menyapihnya diusia tiga puluh bulan (QS AL-Ahqaaf (46) :15)

Dengan demikian maka pengertian dari Syahra adalah sebagai hasil dari hisab yang dilakukan atas Qomar atau hilal, atau dalam bahasa sederhananya, istilah syahra merupakan penanggalan yang diperoleh dari hasil perhitungan perjalanan bulan dalam garis edarnya.

Analisa lainnya kita bawakan disini adalah contoh penggunaan kalimat-kalimat seperti Syahrullah (bulan Allah) untuk menyebut bulan Rajab, Syahr Qur’an (bulan diturunkannya al-Qur’an), Syahr al-’Ied (bulan yang akhirnya disambut dengan hari Raya ‘Ied), Syahr as-Shiyaam (bulan puasa), Syahr ar-Rahmah (bulan penuh rahmat), Syahr as-Sabri (bulan bersabar) dan sebagainya yang mana tidak dapat kita dalilkan kepada pengertian bulan sebagai satelit bumi. Ringkasnya, penggunaan kata bulan atau Syahr dicontoh kalimat-kalimat tersebut adalah bulan dalam makna perhitungan atau kalendar (Month) dan bukan bulan dalam bentuk wujud benda langit (Qomar/Moon).

Oleh karena itu maka penulis pada kesempatan kali ini ingin mengajukan usulan bagi semua pihak untuk mulai melangkah maju meninggalkan apa-apa yang sekiranya sudah bisa ditingkatkan pengetahuan dan kepastiannya melalui perkembangan ilmu dan teknologi. Khususnya mengenai konflik rukyat dan hisab, maka sewajarnya sudah kita merubah cara lama yang mengandalkan rukyat bil fi’li menuju rukyat bil ‘ilmi. Bagaimanapun jarak pandang manusia memiliki keterbatasan dan kelemahannya yang harus diakui. Kemampuan mata manusia untuk melihat benda langit terbatas hanya sampai keredupan 8 magnitudo dalam skala Astronomi. Dengan kemampuan deteksi mata manusia seperti itu, pada jarak matahari dan bulan kurang dari 7 derajat, cahaya sabit (hilal) tidak akan tampak sama sekali. Bila memperhitungkan faktor-faktor pengganggu di atmosfer bumi, maka persyaratan itu bertambah besar dan bermasalah.

Secara psikologis manusia dengan naluriahnya akan menyederhanakan lingkungan visualnya untuk memudahkan pemahaman. Dalam setiap komposisi bentuk, kita cenderung mengurangi subyek utama dalam daerah pandangan kita ke bentuk-bentuk yang paling sederhana dan teratur. Semakin sederhana dan teraturnya suatu wujud, semakin mudah untuk diterima dan dimengerti. Penggunaan ilmu-ilmu hisab secara total dalam penentuan awal dan akhir suatu bulan pada sistem penanggalan Hijriyah terbukti merupakan metode paling akurat berkaitan dengan keteraturan dan kemudahan hasilnya. Sejumlah kekacauan yang bisa timbul dari ketidak akuratan teknik rukyat bil fi’li misalnya menyangkut ketidakjelasan penyusunan agenda atau jadwal kerja. Dimana bila kita hari ini tanggal 25 dan kita mau menentukan 8 hari kedepannya tanggal berapa persisnya haruslah menunggu sampai bulan yang sedang dijalani berakhir baru bisa menentukan tanggal berapa 8 hari dari sekarang itu. Masyarakat modern sekarang ini telah menuntut penjadwalan yang tepat dan rinci berkaitan dengan sidang-sidang maupun rapat-rapat yang akan dihadirinya berkaitan dalam aktivitasnya sehari-hari. Semua membutuhkan akurasi penyusunan agenda yang bisa diprediksi dan dikalkulasikan secara baik sehingga kerjasama dengan client dapat tercapai, kekecewaan akibat melesetnya perkiraan waktu dapat diminimalisir, perpecahan ditengah umat menyangkut kapan berpuasa dan harus berlebaran bisa dhindari serta hal-hal positip lainnya. Semua itu susah dilakukan dengan konsepsi rukyat bil fi’li.

Penulis tidak menyarankan penggabungan rukyat bil fi’li dengan rukyat bil ‘ilmi, karena sekali lagi kita sampaikan metode ini hanya akan menghasilkan kerancuan dan perpecahan. Kita sebaiknya beralih secara total pada rukyat bil’ilmi. Memang ada berbagai macam cara di berbagai negara dewasa ini untuk menentukan bulan baru melalui metode hisab atau rukyat bil ‘ilmu. Mulai dari penghitungan umur, ketinggian, atau perbedaan matahari terbenam dan bulan terbenam, hasil kalkulasi, dan seterusnya . Akan tetapi semua perbedaan yang ada tersebut pada dasarnya bisa diselesaikan dengan mengembalikan konsep awal dari ijtimak atau konjungsi bulan itu sendiri dan bukan berdasar kriteria insaniah kita yang serba terbatas. Artinya perbedaan ini harusnya tunduk pada kaidah ilmu-ilmu Astronomi sebab anatara ia dan Islam harusnya memang tidak ada pemisahan. Islam sekali lagi bukan penghambat ilmu pengetahuan (termasuk Astronomi) dan Islam bukan pula bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Sehingga tidak lagi jadi persoalan apakah usia hilal baru beberapa menit, ketinggian bulan yang harus mencapai dua derajat kapan terjadinya konjungsi dan seterusnya. Bagaimanapun, ketika terjadi pergeseran antara kedudukan matahari dan bulan sehingga terbentuk hilal (sabit) tidak mungkin bisa mundur kembali yang membuat kita harus menunggu sekian jam demi memastikannya. Apabila bulan sudah masuk pada Ijtimak atau konjungsi pada nol derajat maka artinya setelah hal tersebut terjadi merupakan awal dari Bulan baru, itulah fakta kebenarannya. Pada fase sesudah konjungsi sudah pasti hilal atau sabit bulan terbentuk dan sabit bulan tersebut tidak harus dapat dilihat dengan mata telanjang, karena kemampuan mata pastilah sangat terbatas. Kita bisa melihat sabit bulan tersebut melalui ilmu pengetahuan, melalui proses hisab komputer, melalui proses pencitraan satelit dan sejenisnya. Ketinggian minimal untuk bisa melihat hilal dengan mata telanjang (tanpa alat bantu) adalah 4 derajat diatas ufuk (dengan catatan bila beda azimut bulan dan matahari saat itu sudah lebih dari 45 derajat tapi bila beda azimutnya 0 derajat maka perlu ketinggian minimal 10,5 derajat). Disinilah kita memulai memainkan rasionalitas terhadap paradigma berpikir kita yang selama ini cenderung kaku dan membatu.

Terjadinya siang dan malam telah menyebabkan adanya perbedaan waktu di permukaan Bumi kita ini. Dengan adanya pergerakan bumi dari utara keselatan dalam garis ekliptiknya maka terjadi juga pergantian siang dan malam sehingga matahari terlihat seolah terbit ditimur dan terbenam dibarat, padahal matahari tidak pernah terbit maupun terbenam. Manusia membuat persepsi yang demikian disesuaikan dengan cara pandang yang mereka hadapi dan bukan berdasar kenyataan yang sebenarnya. Oleh karena itu pula dibeberapa tempat dalam al-Qur’an, ayat-ayatnya juga ditulis atau diwahyukan oleh Allah dengan mengikuti persepsi dan pandangan mata manusia. Misalnya disebutkan bila bumi ini bagai hamparan (Surah An-Naazi’aat ayat 30, Al-Ghasyiyah ayat 20) atau kemudian dalam kisah Dzulkarnain pada Surah Al-Kahfi ayat 86 dinyatakan matahari terbenam diair yang hitam).

Dalam beberapa dekade belakangan ini, dimana terjadi silang pendapat antara pemerintah selaku pihak yang berkuasa disuatu negara (dalam hal ini khususnya dinegara kesatuan Republik Indonesia) dengan sejumlah organisasi massa serta partai Islam maupun individu-individu tertentu mengenai penentuan berbulan baru yang mencakup hari pertama Ramadhan, hari pertama Idul Fitri serta hari pertama Idul Adha telah menumbuhkan cukup banyak kebingungan ditengah masyarakat berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini, pemerintah sebagai pejabat yang berwenang tentu saja menginginkan seluruh masyarakat yang ada dibawah otoritasnya agar mengikuti ketetapan mereka menyangkut hal-hal tersebut. Sementara kelompok yang berseberangan dengan pemerintahpun merasa bahwa mereka sebagai warga negara yang hak-haknya harus dilindungi, memiliki hak untuk menentukan sikapnya sendiri.

Sebagian ulama lokal maupun yang berasal dari Timur Tengah mencoba mengajukan dalil-dalil yang dalam pandangan mereka rojih serta shahih agar umat Islam secara keseluruhan menyepakati apa-apa yang menjadi ketetapan maupun keputusan pemerintah dimana mereka berdomisili. Salah satu diantara mereka adalah Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz yang bahkan berpendapat sekalipun pemerintah dimana umat Islam tersebut berada, menetapkan berpuasa sampai 31 hari lamanya . Sejumlah dasar yang diajukan mereka diantaranya
:

Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah. Barangsiapa menentangku berarti telah menentang Allah. Barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti telah menaatiku, dan barangsiapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata: “Seseorang (hendaknya) berpuasa bersama penguasa dan jamaah umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.” Beliau juga berkata: “Tangan Allah Swt bersama Al-Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juz 25, hal. 117)

“Akan ada sepeninggalku nanti para penguasa yang mereka itu tidak
berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti caraku. Dan akan 
ada diantara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan
namun berbadan manusia.” Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila
aku mendapatinya?” Rasulullah Saw bersabda: “Hendaknya engkau mendengar dan mentaati penguasa tersebut walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas olehnya, maka dengarkanlah dan taatilah.” (HR. Muslim dari Hudzaifah bin Al-Yaman).


“Puasa itu pada hari (ketika) kalian semua berpuasa, Idul fitri pada hariketika kalian semua ber Idul Fitri dan Idul Adha ketika kalian semuaberidul Adha” (HR. Tirmidzi)

“Seburuk-buruk penguasa kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian mencaci mereka dan mereka pun mencaci kalian.” Lalu dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang (memberontak)?” Beliau bersabda:“Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Dan jika kalian melihat mereka mengerjakan perbuatan yangtidak kalian sukai, maka bencilah perbuatannya dan janganmeninggalkan ketaatan.” (HR. Muslim dari `Auf bin Malik)

Ibnu Umar berkata: Dari Nabi Saw, beliau bersabda: “Kewajiban seorang muslim adalah mendengar dan taat dalam melakukan perintah yang disukai ataupun yang tidak disukai, kecuali bila diperintahkan melakukan maksiat. Bila dia diperintah melakukan maksiat, maka tidak ada kewajiban untuk mendengar serta taat” (HR. Muslim)

Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul serta ulil amri di antara kamu. (QS. An-Nisa (4) :59)

Dalam hal ini, penulis memiliki pendapat yang agak berbeda yang juga memiliki dasar pemikiran dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Bahwa perbedaan yang dimaksudkan oleh Rasul pada hadis-hadis beliau tersebut dalam perspektif penulis bukanlah perbedaan yang menyangkut hukum-hukum keagamaan yang sudah jelas dasar serta patokannya. Tidak ada siapapun yang berhak untuk mengubah kaidah yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam urusan keagamaan. Sementara kita tahu masalah berlebaran atau beridul Adha memiliki persinggungan dengan nash-nash hukum yang sudah jelas.

Sabda Nabi Muhammad Saw :

Dari Anas, bahwa Nabi Saw melarang puasa lima hari dalam setahun, yaitu : hari raya fithri, hari raya adha dan tiga hari tasryiq. (HR. Daraquthni)

Dari Abu said dari Rasulullah Saw, bahwa ia melarang puasa dua hari, yaitu pada hari raya fithri dan hari raya adha. (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)

Dalam satu lafal bagi Ahmad dan Bukhari dikatakan : Tidak boleh puasa pada dua hari. Sementara bagi Imam Muslim dikatakan : Tidak sah puasa pada dua hari.

Dari hadis-hadis diatas maka bisa kita pahami bahwa bila sudah masuk hari idul fithri maupun adha kita sudah dilarang untuk melakukan ibadah puasa, artinya kita harus segera menyegerakan diri untuk berlebaran. Manakala misalnya kita mengikuti suatu ketetapan yang mengharuskan berlebaran esok hari padahal kita sudah tahu hari ini harusnya kita sudah berhari raya maka kita telah melanggar ketentuan Allah dan Rasul-Nya.

Firman Allah :

Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. AL-Ahzaab (33) :36)

Wahai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan jangan engkau berpaling darinya padahal kamu mengetahuinya. (QS AL-Anfaal (8) : 20)
Maka apabila aku perintahkan kamu dengan sesuatu, hendaklah kamu mengerjakan darinya sesanggup kamu. Dan apabila aku mencegah kamu dari sesuatu maka kamu jauhilah dia. (HR. Muslim dan Nasa’I dari Abu Hurairah)

Tentu kita maklum bahwa waktu berhari raya atau berpuasa hanyalah akibat dari suatu sebab yang ada sebelumnya. Adapun penyebab perbedaan yang terjadi sehingga menimbulkan kecenderungan untuk terjadinya pelanggaran atas nash-nash yang terkait seputar hari raya akan kembali lagi pada metode penentuan berbulan baru.

Sekarang kita akan coba mempersempit masalah dengan mengabaikan perdebatan tentang hisab dan rukyat (bil fi’li) dan kita membahas tentang adanya kesaksian sejumlah orang yang melakukan pengamatan terhadap hilal secara langsung pada tempat-tempat tertentu. Pada praktek dilapangan, seringkali kesaksian-kesaksian individu tersebut ditolak oleh pihak yang berkuasa hanya karena dalam kalendar yang berlaku dan sudah terlanjur beredar dimasyarakat tertulis hari raya baru jatuh pada hari lusa dan bukan esok hari. Kita tidak akan membahas mengenai pengaruh adanya perubahan kebijakan pemerintah terhadap kondisi politik serta perekonomian negara, karena memang ketetapan agama harusnya dinomor satukan dari semua kepentingan yang ada.

Kitab hadis “Nailul Authar” yang berisi kumpulan hadis-hadis hukum dari Nabi Saw hasil jerih payah Asy-Syaukani dari kitab Al-muntaqa Ibnu Taimiyah memuat secara khusus masalah kesaksian atas hilal ini . Kita bisa melakukan introspeksi diri kita sendiri dari hadis-hadis tersebut, apakah tindakan yang dilakukan oleh pemerintah sudah melanggar ataukah memang sudah benar dalam mengikuti ketetapan Nabi Muhammad Saw mengenai hal ini. Dari sini kita bisa pula mengoreksi tentang sikap kita yang mengaminkan atau juga melakukan pembangkangan pada keputusan pemerintah (serta ulama-ulama yang menyarankan untuk mengikutinya).

Dari Umar, ia berkata : Orang-orang pada melihat bulan, lalu aku memberitahu Rasulullah Saw bahwa akupun melihatnya. Lalu ia berpuasa dan menyuruh orang-orang supaya berpuasa. (HR. Abu Daud dan Daraquthni. Tetapi Daraquthni berkata : Marwan bin Muhammad menyendiri dengan hadis ini dari Abu Wahab, sedang dia adalah kepercayaan).

Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata : Ada seorang Badui datang ketempat Nabi Saw, lalu ia mengatakan : Sungguh aku melihat bulan. Kemudian Nabi bertanya : “Apakah engkau percaya bahwa Tiada Tuhan selain Allah ?” Ia menjawab : “Ya”. Lalu Nabi bertanya lagi : “Apakah engkau juga percaya, bahwa sesungguhnya Muhammad utusan Allah ?” Ia menjawab : “Ya”. Lalu Nabi menyuruh Bilal : “Hai Bilal, beritahukanlah kepada manusia, supaya mereka besok berpuasa”. (HR. Imam yang lima, kecuali Ahmad).

Dan Abu Daud meriwayatkan juga dari hadis Hammad bin Salamah dari Simaak dari Ikrimah secara mursal (tanpa menyebut nama sahabat), semakna dengan itu, dan ia berkata : Lalu Nabi menyuruh Bilal, kemudian Bilal menyeru pada manusia : “Hendaklah mereka sholat tarawih dan berpuasa”

Dari Rib’I bin Hirasy, dari seorang laki-laki dari sahabat Nabi, ia berkata : Orang-orang berselisih tentang akhir Ramadhan, lalu datanglah dua orang Badui kemudian mereka bersumpah dihadapan Nabi Saw bahwa bulan Syawal telah nampak kemarin sore, lalu Rasulullah Saw menyuruh orang-orang agar berhari raya fithri. (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Dari Abdurrahman bin Zaid bin Khattab, sesungguhnya dia berkhutbah pada hari yang ia ragu-ragu padanya sebagai berikut : Ketahuilah, bahwa aku adalah berkawan dengan sahabat-sahabat Rasulullah Saw dan pernah bertanya kepada mereka, lalu merekapun menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda sebagai berikut : “Berpuasalah kalian karena melihat bulan dan berhari rayalah kalian karena melihat bulan, dan beribadahlah kalian karena melihat bulan. Kemudian jika bulan itu terdinding awan maka genapkanlah tiga puluh hari. Tetapi jika ada dua saksi muslim yang melihatnya maka berpuasalah kalian dan berhari rayalah”. (HR. Ahmad dan Nasa’i, tetapi Nasa’I tidak menyebutkan kata-kata “muslim” pada teks “dua saksi”).

Dari Amir Mekkah, Al-Harits bin Hathib, ia berkata : Rasulullah Saw memerintahkan kita supaya beribadah karena melihat bulan. Tetapi jika kita tidak melihatnya sedang ada dua orang saksi adil yang menyaksikan bulan tersebut, maka kita pun beribadah lantaran kesaksian dua saksi tersebut. (HR. Abu Daud dan Daraquthni, Daraquthni berkata sanadnya bersambung dan shahih).

Syarah dari kitab Nailul Authar menjelaskan bahwa dua hadis yang menyebutkan “manusia melihat bulan” menunjukkan kesaksian seseorang atas datangnya hilal Ramadhan bisa diterima. Inilah pendapatnya Ibnu Mubarak, Ahmad bin Hambal serta Imam Syafe’I dalam salah satu dari dua pendapatnya. Imam Nawawi sendiri berkata : “Itulah pendapat yang lebih benar.” Akan halnya pendapat dari Imam Malik serta sejumlah Imam sunan lainnya bahwa kesaksian seseorang tidak dapat diterima kecuali dua orang adalah mengandung pengertian tidak diterimanya seorang saksi karena semata-mata paham dari apa yang tersirat, sedang yang tersurat dalam hadis tersebut adalah diterimanya seorang saksi.

Sekali lagi bila kita mengabaikan perselisihan tentang jumlah satu atau dua orang saksi yang melihat hilal dimalam dua puluh sembilan, maka adanya kesaksian untuk itu secara nash keagamaan sudah memenuhi syarat untuk menentukan awal bulan yang baru. Bila kemudian pemerintah mengabaikan kesaksian tersebut dan bersikukuh dengan pendapatnya bahwa umat baru boleh berhari raya pada lusa harinya, berarti pemerintah sudah berseberangan dengan nash-nash hukum keagamaan. Sebagai seorang muslim, maka kita juga sudah memiliki tuntunan dari Rasul yang sebelumnya dijadikan hujjah dari kelompok pertama, “Kewajiban seorang muslim adalah mendengar dan taat dalam melakukan perintah yang disukai ataupun yang tidak disukai, kecuali bila diperintahkan melakukan maksiat. Bila dia diperintah melakukan maksiat, maka tidak ada kewajiban untuk mendengar serta taat” (HR. Muslim)

Maksiat yang kita coba kaitkan disini adalah mengajak kepada jalan selain jalan Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana hal ini disampaikan oleh Imam Ali bin Abi Thalib, “Tidak ada ketaatan kepada seorang makhluk yang dapat dibenarkan jika hal itu berupa perbuatan maksiat terhadap al-Khaliq” . Persatuan umat bukan menjadi alasan untuk mengabaikan nash-nash agama yang telah pasti kecuali bila memang untuk melakukannya dibatasi oleh situasi dan kondisi (misalnya seperti dalam masa Orde Baru). Adapun makna dari Ulil Amri pada surah an-Nisa ayat 59, memang oleh mayoritas ulama dinyatakan sebagai pemerintah yang berkuasa. Ahli Mufassir terkemuka bernama Imam Fakhruddin Razi yang menulis kitab “Mafatihul Gaib” (w. 1228 M) mengartikan Ulil Amri sebagai Ahli Ijmak (orang-orang yang kesepakatannya menjadi hukum yang harus ditaati). Imam Naisaburi serta Muhammad Abduh memahaminya sebagai Ahli Halli wal’aqdi (orang-orang yang mempunyai hak kekuasaan untuk membuka dan mengikat yang setiap keputusannya mengikat seluruh negara dan wajib ditaati oleh seluruh umat) .

Apapun defenisi yang diberikan untuk istilah Ulil Amri tersebut, penulis disini ingin menekankan bila cara kerja Ulil Amri yang terdapat dalam surah An-Nisa ayat 59 harusnya juga mengacu pada lanjutan ayat tersebut, “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama dan lebih baik akibatnya”. Sabda Nabi Saw pula, “Hendaklah kamu mengikuti dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk dimasa setelah aku”. (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Jadi kita tetap punya parameter yang tegas bahwa kepatuhan pada penguasa adalah selama mereka juga mengembalikan pengaturan hak rakyatnya yang muslim kepada tuntunan Allah dan Rasul. Al-Qur’an disisi lain memberikan petunjuk bila jumlah orang tidaklah menentukan nilai kebenaran yang mereka serukan (suara mayoritas tidak selalu berarti suara kebenaran) :

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS Al-An’am (6) :116)

Adapun makna Al-Jama’ah dimana menurut Imam Ahmad bin Hanbal dengan perkataannya “Tangan Allah Swt bersama Al-Jama’ah”, secara lughat berarti kumpulan, himpunan atau persatuan. Salah seorang sahabat Nabi bernama Ibnu Mas’ud diriwayatkan pernah berkata kepada Amr bin Maimun : “Al-Jama’ah adalah apa-apa yang bersesuaian dengan kebenaran walaupun engkau sendirian”. Dikesempatan lain, beliau juga berkata, “Jama’ah itu adalah apa-apa yang bersesuaian dengan ketaatan pada Allah Azza Wajalla” 

Imam Alipun diriwayatkan berkata, “Jama’ah itu, demi Allah, adalah kumpulan orang-orang ahli kebenaran walaupun mereka itu sedikit” .

Jadi al-Jama’ah itu bisa dimaknai sebagai kebersatuan dengan nilai-nilai kebenaran. Dalam hal ini adalah kumpulan satu atau lebih orang yang taat pada Allah. 

Sesuai firman Allah :

Katakanlah: “Sesungguhnya aku hendak memperingatkanmu pada satu hal, yaitu supaya kamu menghadap Allah berdua-dua atau sendiri-sendiri”. (QS. Saba (34) :46)

Nabi Muhammad Saw disinyalir telah bersabda dalam satu hadis dengan status dhaif (lemah), “Sesungguhnya umatku tidak berkumpul diatas kesesatan. Maka dari itu bila kamu melihat perselisihan maka hendaklah kamu Sawadul-A’zham”. (HR. Ibnu Majah dari Anas bin Malik, kedhaifan hadis ini disebabkan salah satu perawinya bernama Hazim bin ‘Atha yang dianggap lemah oleh sebagian ahli hadis, sebagaimana kata Imam Al-Iraqy). Istilah Sawadul-A’zham pada hadis diatas sering dinisbatkan pada al-Jama’ah, sebagaimana ini dilakukan oleh ahli hadis dan fiqih terkenal bernama Imam Sofyan ats-Tsauri (w. 161 H) serta Imam Ishaq bin Rahawaih. Penafsiran tersebut tidak menyalahi lahiriah hadis tersebut yang intinya adalah untuk selalu memegang pihak yang benar, walaupun jumlahnya sedikit.

Originally posted by: Armansyah 
http://armansyah.swaramuslim.com

0 comments:

Post a Comment