Apakah Syiah itu?

 
Kata Syiah berasal dari bahasa Arab yang artinya pengikut, juga mengandung makna pendukung dan pecinta, juga dapat diartikan kelompok. Sebagai contoh : Syiah Muhammad artinya pengikut Muhammad atau pecinta Muhammad atau kelompok Muhammad. Oleh karena itu dalam arti bahasa, Muslimin bisa disebut sebagai Syiahnya Muhammad. Pengikut Musa bisa dikatakan Syiah Musa. Pengikut Hitler bisa disebut syiah Hitler dan seterusnya dan seterusnya.


Terminologi syiah dalam arti bahasa muncul pasca wafat nya nabi Muhammad. Di zaman Rasulullah SAW Syiah-syiah atau kelompok-kelompok yang ada sebelum Islam, semuanya dihilangkan oleh Rasulullah SAW, sehingga saat itu tidak ada lagi Syiah ini dan tidak ada Syiah itu. Hal demikian karena Rasulullah SAW diutus untuk mempersatukan umat dan tidak diutus untuk membuat kelompok-kelompok atau syiah ini dan syiah itu. 

Allah berfirman :
 
     واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا         (العمران:١۰٣)

“Dan berpegang teguhlah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai berai (berkelompok-kelompok).”


Munculnya syiah-Syiah (Kelompok-kelompok)

Pasca Rasulullah SAW wafat, benih-benih perpecahan mulai ada, sehingga saat itu ada kelompok-kelompok atau syiah-syiah yang mendukung seseorang. Tetapi hal demikian hanya bersifat politik bukan aqidah (pokok-poko ajaran Islam). Misalnya sebelum Abu Bakar di baiat sebagai Khalifah, pada waktu itu ada satu kelompok dari orang-orang Anshor,− muslimin lokal penduduk asli Yastrib atau Madinah,  yang berusaha ingin mengangkat Saad bin Ubadah sebagai Khalifah.

Tapi dengan disepakatinya Abu Bakar RA. menjadi Khalifah, maka bubarlah kelompok tersebut dan tunduk di bawah kepemimpinan Abu Bakar. Begitu pula saat itu ada kelompok kecil yang berpendapat bahwa Ali RA. lebih berhak menjadi Khalifah dengan alasan karena dekatnya hubungan kekeluargaan dengan Rasulullah SAW.  tetapi kemudian dengan membaiatnya Ali RA. kepada Khalifah Abu Bakar, maka selesailah masalah tersebut. Oleh karena dasarnya politik dan bukan aqidah, maka hal-hal yang demikian itu selalu terjadi, sebentar timbul dan sebentar hilang atau bubar.

Hal demikian adalah lumrah sebagaimana yang terjadi dinegeri kita saat memilih pemimpin apakah Presiden, Gubernur dan lainya, meskipun berbeda tapi tetap patuh pada hukum dan perundangan yang berlaku.

Begitu pula saat Ali RA. dibaiat sebagai Khalifah pengganti Usman yang dibunuh kelompok pemberontak, maka kelompok Muawiyah yang belum mau membaiat dari kepemimpinan Ali RA kecuali Ali segera melaksanakan Qisas atas dibunuhnya Usman dikarenakan sikap Ali yang ingin menunda pelaksanaan Qisas tersebut dikaenakan kondisi keamanan dan tidak sederhananya permasalahan tersebut maka hal yang semacam itu timbul lagi, sehingga waktu itu ada kelompok-kelompok yang mendukung  Ali atau “Syiah Ali” dan ada kelompok-kelompok yang mendukung Muawiyah atau “Syiah Muawiyah”.

Jadi istilah syiah pada saat itu tidak hanya dipakai untuk pengikut atau kelompok Imam Ali saja, tapi pengikut atau kelompok Muawiyah juga disebut “Syiah”.

Argumentasi tersebut diperkuat dengan apa yang tertera dalam surat perjanjian atau Sohifah At-tahkim antara Imam Ali dengan Muawiyah, dimana dalam perjanjian tersebut disebutkan:

  هذا ما تقاضى عليه على بن ابى طالب ومعاوية بن ابى سفيان وشيعتهما                                  
( اصول مذهب الشيعة )                      


“Ini adalah apa yang telah disepakati oleh Ali bin Abi Talib dan Muawiyah bin Abi Sufyan dan kedua Syiah (kelompok atau pendukung) mereka.”

Dengan demikian penyebutan kata syiah pada saat itu memang sudah ada, tetapi hanya dalam arti bahasa dan dasarnya hanya bersifat politik dan bukan landasan aqidah. Adapun aqidah para sahabat saat itu, baik Imam Ali dan kelompoknya maupun Muawiyah dan kelompoknya,  Mereka sama-sama mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Hal ini dikuatkan oleh keterangan Imam Ali, dimana dalam suratnya kepada Ahli Anshor, beliau menceritakan mengenai apa yang terjadi antara beliau  dengan  Muawiyah  dalam perang Siffin (Perang Saudara) sbb:

  كان بدء امرنا انا التقينا والقوم من اهل الشام، والظاهر ان ربنا واحد، ونبينا واحد،        ودعوتنا فى الاسلام واحد، ولا نستزيدهم فى الاسلام بالله والتصديق برسوله، ولا         يستزيدوننا، الامر واحد الا ما اختلفنا فيه من دم عثمان، ونحن منه براء

( نهج البلاغة- ٤٤٨ )

“Adapun mas’alah kita, yaitu telah terjadi pertempuran antara kami dengan ahli syam (Muawiyah dan Syiahnya). Yang jelas Tuhan kita sama, Nabi kita juga sama dan da’wah kita dalam Islam juga sama. Begitu pula Iman kami pada Allah serta keyakinan kami kepada Rasulullah, tidak melebihi iman mereka, dan iman mereka juga tidak melebihi iman kami. Masalahnya hanya satu, yaitu perselisihan kita dalam peristiwa terbunuhnya (Kholifah) Usman, sedang kami dalam peristiwa tersebut, tidak terlibat.”(Nahjul Balaghoh – 448)


Syiah sebagai Aliran

Jika awalnya kata syi’ah adalah kelompok atau pendukung seseorang secara politis, maka saat ini syi’ah bermakna aliran atau sekte dan sekaligus politk dalam agama Islam yang membangun aqidah (pondasi agama) berdasarkan kepada klaim  yang tampak indah yaitu “Penolong Ahlul Bait (Keluarga Nabi)”

Pun demikian, klaim yang tampak indah ini menimbulkan banyak friksi dan perpacahan dikalangan umat Islam yang sangat fatal manakala keimanan mereka dibangun atas kebencian, fitnah  dan hujatan kepada sebagian sahabat Nabi disamping ritual-ritual keagamaan yang banyak mengada-ada. Disinilah kemudian kata Syiah berubah memenjadi sesuatu yang “busuk”. 

Mereka megklaim pembela Ali dan Ahlul Bait (Keluarga Nabi) pada saat yang sama melaknat sahabat-sahabtat Nabi yang pernah berselisih dengan Ali. Mereka  menuduh Abu Bakar RA, Umar RA dan Usman RA yang dituduh sebagai orang-orang yang mengambil hak Ali dan mengatakan para sahabat tersebut telah Murtad (Na’udzu billan summa Na’udzu billah).

Apa yang dikatakan Ali RA terkait perselisihan yang pernah terjadi diantara para sahabat dan mengingatkan mereka bahwa para sahabat yang berselisih adalah para sahabat yang telah banyak berjuang dalam keadaan sulit dan senang bersama Nabi Muhammad. Pun bagaimana Perselisihan disebabkan banyak informasi yang simpang siur dan hasutan orang-orang munafik yang menginginkan perpecahan itu terjadi. Dan bahwasanya Ali menyaksikan sendiri penyesalan akibat kesalah pahaman yang terjadi baik sahabat-sahabat yang wafat dalam perselisihan tersebut juga para sahabat yang menarik diri dari perselisihan. Inilah sikap dan ahlak Ali yang tetap mencintai sahabat dan patut ditiru umat Islam maupun kelompok yang mengklaim pembela “Ahlul Bait”

  انى اكره لكم ان تكونوا سبابين ، لكنكم لو وصفتم اعمالهم، وذكرتم حالهم، كان اصوب    فى القول وابلغ فى العذر، وقلتم مكان سبكم اياهم، اللهم احقن دماءنا ودماءهم، واصلح
  ذات بيننا وبينهم   ( نهج البلاغة -٣٢٣)     
                                         
“Aku tidak suka kalian menjadi pengumpat (pencaci-maki), tapi andai kata kalian tunjukkan perbuatan mereka dan kalian sebutkan keadaan mereka, maka hal yang demikian itu akan lebih diterima sebagai alasan. Selanjutnya kalian ganti cacian kalian kepada mereka dengan : Yaa Allah selamatkanlah darah kami dan darah mereka, serta damaikanlah kami dengan mereka(Nahjul Balaghoh – 323)